CERPEN ::: GARA-GARA DOSA

GARA-GARA DOSA

By: Imam Ocean

 

Aku bukannya tidak tahu yang mana dosa yang mana berpahala. Yang kutahu adalah aku harus rajin sekolah supaya pintar dan menjadi orang berguna.

Aku pernah tahu, bahwa berdosa itu kalau kita mencuri uang lima ratus rupiah dari dompet emak. Dan kita akan mendapat pahala kalau emak bisa tersenyum karena dagangan pisang gorengnya yang kutitipkan ke kantin sekolah habis tak bersisa. Dan karena itu aku tak pernah mencuri uang lagi dan lebih gencar menjajakan pisang goreng emak agar lekas ludes. Emak bilang, pahala itu kuncinya surga.

hanya manusia yang baik yang masuk surga.

..oOO0OOo..

Emakku kini sedang bingung. Tampak raut wajahnya yang beringsut keriput. Ini bukan lagi soal pisang gorengnya. Rasa-rasanya emak sedang gundah memikirkan buah hatinya tercinta. Aku.

Dimanakah aku???

..oOO0OOo..

Lonceng sekolah berkelonteng riuh membuyarkan konsentrasiku. Saat itu rumus matematika masih bergumul di kepala. Belum sempat semburat menghias kertas putih bergaris biru nila. Tak urung akan ada pekerjaan rumah lagi selain membuat kliping IPA tentang hewan karnivora. Tetapi tidak apa. Untuk menjadi berguna harus siap sedia. Saatnya beristirahat di neraka.

Kelasku paling ujung. Tepat dibawah pohon kapuk. Lumayan besar dan rindang. Sering menjadi jujukan teman-teman bila istirahat menjelang. Untuk mengikatku di pohon dan melempariku biji kapuk yang kecil nan hitam. Kalau aku belum menangis mereka tidak akan diam. Terpaksa air mata kuteteskan walau hatiku pantas untuk geram. Beruntung Arman, sang ketua kelas datang. Menghentikan aksi yang bagi mereka lucu tapi bagiku kejam. Mereka tertawa senang tapi aku cuma bisa meradang dendam.

Lonceng sekolah kembali berulah. Kali ini dia tidak berguna. Karena bunyinya telat membahana. Penyelamat hidupku akhirnya bukan lagi benda, tetapi Arman. Karena dia tidak tanggung-tanggung rela menolongku dalam kekangan derita. Terima kasih untuk Arman. Mungkin dulu aku bisa bebas mencintai lonceng, tapi kini aku berpikir seribu kali untuk menjadikan Arman monyetku hari ini. Karena semua tahu cinta monyet yang paling klasik, tentu saja percintaannya Arman dan Yulia. Aku tidak bisa membayangkan di sebuah papan tulis tergores kapur yang bergambar waru tertancap hati dengan tulisan ARMAN DAN IMAM di tengahnya. Jangan salah, lain di papan lain di buku pelajaran. Setiap sampul belakang selalu ada tanda hati melingkari huruf A dan I. dan bagiku itu sebuah keindahan.

..ooOO0OOoo..

Dengan sabar Bu Aminah membuka-buka buku panduannya. Mencari-cari halaman 56 yang membahas kisah Majapahit. Dengan tutur lembutnya, beliau berhasil menyulap seisi kelas. Yang tadinya silap oleh keringat istirahat, kini lelap oleh dongeng singkat tentang kerajaan yang sempat membuat Nusantara hebat.

..ooOO0OOoo..

Beruntung tak ada PR lagi. Aku tersenyum lega. Nanti malam aku akhirnya bisa dengan leluasa menonton film serial Knight Rider di rumah Cak Wawan. Tetangga 50 langkah yang rumahnya selalu terbuka bila aku ingin menonton film dan berita.

Ayolah!!! Kenapa lonceng belum berbunyi juga?

Ingin segera kuselesaikan semua pekerjaan rumah yang telah diberikan ibu-bapak guru tadi. Materi karnivora telah tergunting dari koran-koran yang memang sudah iseng aku kumpulkan jauh hari sebelumnya. Sementara matematika hanya masalah niat. Setidaknya aku sudah tahu bagaimana cara menerapkan teori yang pernah dituturkan Pak Muji.

Teng….teng….teng!!!!!

Ternyata banyak sekali mata-mata yang awas menatapku. Dari bangku depan, samping kiri, kanan, dan belakangku. Fery, teman sebangku aku hanya berpura tak mau tahu. Dia memang bukan Arman. Dia hanya sebatas teman. Yang akan hanya bisa diam atau bahkan tertawa kelam bila aku sedang di uji kelayakan atas kelelakian. Mungkin karena dia anak juragan ikan, sehingga semua teman-teman harus mengistimewakan. Mungkin inilah mengapa Fery mau duduk sebangku bersebelahan. Agar makin kentaran. Siapa pembantu siapa majikan. Yang kalau pulang selalu dijemput tepat waktu. Sementara aku, langsung menuju kantin biru menjemput nampan abu-abu yang kadang masih tersisa pisang goreng yang sedikit mulai membatu.

Setidaknya bisa kugunakan untuk melempar kepala Agus,salah satu dari pemilik mata awas yang selalu berbuat jahat padaku.

..ooOO0OOoo..

Aku langsung berlari menyusuri pelataran kelas demi kelas. Menciut nyali saat Agus dan kawan-kawan atur strategi. Aku sampai di depan Mbak Sri. Sang penunggu kantin yang baik hati. Ku diserahi nampan kosong tanpa pisang goreng lagi.

“Kenapa habis hari ini?”

Kuterima uang seribuan lima belas lembar. Mbak Sri menyuruhku untuk menyimpan hati-hati agar tidak hilang dijalan lagi seperti tempo hari. Aku hanya bisa mengangguk cepat dan sedikit memulai gelagat. Karena Agus dan kawan-kawan mulai menyeringai hebat. Desisnya sampai terasa ke tulang betis. Aku bergemetar. Bukan takut karena akan di cincang. Aku takut uang pisang akan hilang seperti biasanya. Mbak Sri berang melihat muka Agus yang garang. Sempat beliau mengancam, untuk mengadukan pada sang Bapak. Si Kepala Sekolah. Tapi Mbak Sri tentu tahu diri, dia itu siapa. Dia juga masih butuh makan. Kali ini, seperti biasa, Agus kembali dimaklumi.

Aku berlari kencang.

Agus berteriak lantang.

“Kejaaaaar!!!”

Aku berlari seperti maling idiot yang tertangkap basah mencuri kutang perawan. Yang kalau tertangkap biasanya nyawa hilang sekejap. Entah karena di pacul atau dibakar massa yang kalap.

Aku ketakutan. Aku takut bukan karena akan di pacul atau dibakar. Aku hanya takut bila uang yang kupegang sekarang tidak jatuh ke tangan emak tersayang. Tetapi beralih ke tangan Agus dan kawan-kawan. Semoga ketakutanku tidak terbukti. Terlepas dari kejaran setan yang kesetanan. Itu saja harapanku.

Harapan yang sedikit aus karena kekuatan berlariku yang tak setara dengan mereka berempat.

Sempurna……!

Aku terjungkal bersama nampan pembawa sial. Seragamku kini bermotif kumal. Agus tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berempat kompak membekapku erat. Bukan di dekap, tapi di bekap. Aku serasa biadab. Digiring aku mirip anjing, menyusuri gang demi gang. Aku diam tanpa kata. Hanya sedikit air mata yang tersisa yang masih dengan rela menemani perjalananku yang entah kemana. Aku seperti hendak dibawa ke ujung dunia dan akan diterjunkan paksa ke dalam jurang yang tak berdasar.

“Sebentar lagi kamu akan menjadi laki-laki!!”

Sungguh aku sangat kacau saat itu. Tak bisa kumengerti ucapannya. Agus lagaknya perwira tinggi yang ingin anak buahnya tegas dan punya jati diri.

Aku tidak ingin jadi tentara

Mendadak Agus semakin mencengkeramku erat dan menyeretku jatuh dalam bekapannya. Erat. Sepertinya dia mendengar apa yang telah kuucap beberapa detik lewat.

Mata lelahku memandang sekejap. Tampak para pria dan wanita yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Sekilas mereka sibuk menata mata untuk memicing. Mereka hanya memastikan aku bukan anak mereka. Kalau memang bukan, ya sudahlah. Padahal mataku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghamba pada mereka. Agar jatuh pertolongan, setidaknya teguran buat agus dan kawan-kawan. Nyatanya mereka tidak peduli. Karena memang aku bukan anak salah satu dari mereka. Aku cuma anak emak.

..ooOO0OOoo..

Uang lima belas ribu hilang sudah. Agus dan kawan-kawan bersorak riang. Mereka menari-nari di tengah-tengah terminal. Tentu saja mereka senang. Selain dapat uang dari pisang, mereka juga diberi orang uang tanpa pernah ku tahu sebab. Entah siapa dia. Tampaknya agus semakin girang. Dan mengucapkan kata perpisahan padaku dan pada Pak Ji. Demikian agus memanggil orang itu.

Sekarang aku bersama Pak Ji. Pak Ji bilang aman. Entah aku harus bilang apa. Mereka bilang Pak Ji guru ngaji. Mungkin aman. Pak Ji memang terlihat tidak menakutkan. Bagiku.

“Aku ingin pulang?”, pintaku dalam hati.

Spontan memang aku terpaksa mengeluarkan kalimat itu. Tapi dengan sabarnya, Pak Ji melarangku hengkang. Dia malah menawarkan akan mengantarku pulang, bila aku bersedia menemaninya ke musholla sambil menunggu kumandang Adzan sore menjelang. Nanti dia juga akan berjanji mengganti uang yang tadi diminta Agus. Sebuah kalimat yang mencerahkan.

“Akhirnya aku bisa pulang.”

..ooOO0OOoo..

Musholla itu kecil terpencil. Hanya ada kambing-kambing dekil yang sibuk membuat biji sakti dari rumput liar yang sudah hilang nutrisi. Mereka acuh. “dasar kambing,” resahku. Dan tampak sempit bangunan itu ketika Pak Ji masuk kedalamnya. Dia mengisyaratkanku untuk menyusulnya masuk. Aku lepas sepatu dan menaruh tas sekolah di ambang pintu. Hendak mencuci kaki di tempat wudlu, Pak Ji melarangku, “tidak perlu.”

Aku langsung membelokkan langkah dan segera masuk kedalam musholla. Pak Ji orangnya seperti Alladin yang berumur lima puluhan. Jenggotnya panjang memutih. seputih baju gamis yang dikenakannya. Bisa di sangka dia orang arab atau india. Tapi bagiku dua-duanya sama saja. Sama-sama berjenggot putih memanjang bergelombang.

Aku didudukkan pelan-pelan sambil diceritakan sebuah dongeng tentang dia dan hidupnya. Logatnya tak arab bukan india. Malah seperti aksen pedagang besi tua. Dia bercerita antusias. Menggebu-gebu. Bahkan seperti bernafsu. Aku tak tahu lagi apa topiknya waktu itu. Hanya tentang Malika istrinya, Maimunah istrinya dan Salimah yang entah juga istrinya. Aku berusaha untuk tidak bingung. Sambil bercerita, dia memamerkan pisang ambon kebanggaannya. Aku terpaksa melihat dan juga ingin tahu. Dia membusungkan dada pelan-pelan. Tertawa menatapku dan tersenyum sipu.

Dia melihatku jenuh. Seakan dengan malasnya dia menawarkan seonggok daging keras tak bertulang, yang kelihatannya memang dia sengajakan untuk disuguhkan kepadaku. Aku penasaran atau doyan. Tetapi lebih tepatnya aku mendadak ketakutan. Aku diam. Pak Ji lantas membetulkan seragam sekolahku yang ternyata salah satu kancingnya hilang gara-gara terkoyak tangan agus sialan. Sambil membetulkan dia terus bercerita. Tak sadar justru kancingku semua dilucutnya.

“disini panas, nanti bajumu bau keringat. Lepas saja!”

Aku menuruti omongannya dengan seksama. Dan dia mulai menjelajahi tubuhku dengan peta senggama. Dia merabaku diam-diam. Dan aku sedikit ketakutan. Dia mendekapku pelan-pelan. Dan aku lumayan ketakutan. Dia memelukku dalam-dalam. Dan aku sangat ketakutan. Dia lantas menggumam disertai erangan. Ada jampi-jampi atau terdengar mirip ayat suci lamat-lamat keluar dari mulutnya. Dan setelah itu sayup-sayup hembusan udara keluar dari mulutnya dan mendarat ke seluruh wajahku. Aku terkesiap dan langsung mendadak kaku.

Aku dibimbing untuk telentang dan membujur diam. Dia tampak senang tapi masih tetap saja menakutkan. Aku disarankan memejamkan mata. Tak bisa kumelihatnya lagi. Aku pun tidur dalam kesadaran. Mataku tertutup. Tak ada gambaran yang muncul dibenakku. Hitam. Dan ketakutan. Diam. Aku tetap berusaha agar bisa diam sempurna tanpa memperlihatkan ketakutan.

Ini semua demi uang. Ingat! Demi uang.

Tapi aku masih saja tetap takut. Takut emak menemukan aku yang sedang dijadikan kemenyan jadi-jadian. Aku ketakutan. Dan ternyata aku kesakitan. Sakit sekali. Sakitku kali ini sangat tak biasa. Kalau dulu hanya lebam dan luka lecet di badan. Kini perihku merambat masuk lewat rongga selangkangan. Jadi apa aku sekarang. Seperti katak balik badan. Aku mencoba bersuara untuk mengalihkan perihku. Tapi tangan besar berbulu halus itu menutupku rapat. Nafasku tersendat. Mendadak sekarat. Aku pikir sebentar lagi kiamat.

..ooOO0OOoo..

Setelah mengangkang, ditendang-tendang dan ditusuk berulang-ulang dengan pedang berjambang, aku dibiarkan terjengkang. Tubuhku memucat mengambang diantara ilalang. Dan lucunya, kata orang-orang ada bagian tubuhku yang hilang. Mungkin ditanam di ladang, atau dijadikan resep dukun kondang untuk membangun gedung tinggi yang menjulang.

“Dan sampai sekarang aku masih bingung bagaimana caranya agar aku bisa kembali pulang.”

Tempatku berdiri kini teramat luas. Aku berputar, berputar dan berputar. Resah dan gelisah. Dalam kegalauan aku berharap bertemu seseorang. Setidaknya bisa memberikanku jawaban.

..ooOO0OOoo..

Berkali-kali suatu ketika ada orang lewat dan sekelebat membuang hajat. Tanpa bermaksud jahat, aku langsung colek dari belakang hingga dia berjingkat.

“Tolong carikan kepalaku,” pintaku memelas.

Dan orang itu berlari secepat kilat menerabas padang ilalang yang lebat.

“Semua ini gara-gara dosa.”

 

 

Gresik, 9 Juni 2010 10:15 PM

~ by Imamie on October 24, 2010.

4 Responses to “CERPEN ::: GARA-GARA DOSA”

  1. Twist yang menarik.
    Tapi lagi” musholla. hmm..

  2. KEREN!!!!!!! Cerpen yg Keren abiiiiiiiieeeeezzzzzzz!!!!!!!! jd pngen kenal penulisx!!!!!

  3. wow.. really nice story.. ending nya keren.. keren.. dan
    keren. sumpah salut

Leave a reply to ellysa Cancel reply