Cerpen ::: Cahyo

Orang memanggil saya Cahyo. Yang artinya cahaya. Tapi kenyataannya, saya tidak secahaya itu. Kehidupan saya suram. Kelam. Bahkan cenderung gelap. Sepertinya, orang tua saya tergesa-gesa memberi nama. Mengingat, konon katanya, disaat saya lahir, suasana listrik padam, minus penerangan. Beruntung katanya ibu melahirkan normal. Bapak saya teriak-teriak, “kasih cahaya-kasih cahaya” ibu saya malah balas teriak sambil menahan rasa lelahnya yang sangat, “namanya Cahya, Cahyo”

Cukup tentang asal usul nama saya. Mungkin hari ini, saya akan sedikit bercerita tentang secuil kehidupan saya. Bagaimana akhirnya hingga saya bisa menginjakkan kaki di tanah Jakarta. Cerita ini mungkin bisa jadi panjang, tapi saya akan dengan sengaja mengemasnya menjadi pendek.

Percaya saja kalau saya di kampung adalah guru ngaji anak-anak sekolah dasar. Tapi saya tentu saja bukan guru resmi sekolah dasar. Karena saya memang tidak punya ijazah untuk mengajar. Jenjang sekolah saya berakhir di SMA. Pernah kerja di pabrik sarung tenun. Dua tahun. Lantas lanjut menjadi Satpam di ruko-ruko depan alun-alun. Bertahan dua bulan. Dua kali kemalingan. Lantas dari pada menganggur, ngajar ngaji di masjid samping rumah, Alhamdulillah, yang namanya rejeki selalu saja ada. Walau berat berkata bosan, tapi niat ikhlas masih terus menjadi pegangan. Ibu saya selalu meyakinkan saya, bahwa di kampung tempat saya tinggal, saya lah yang paling beruntung. Karena pernah pergi ke tanah Mekkah.

Mungkin ibu suka dengan takdir saya. Tapi berbalik dengan itu semua. Saya benci dengan semua keadaan ini. Saya bisa ke Mekkah karena Mas Dayat. Warga pendatang di kampung saya. Kaya raya dari keluarga berada. Punya segalanya. Istri dan dua anak perempuan. Yang kedua-nya belajar mengaji kepada saya.
Mulai dari sini, saya akan bercerita, kenapa saya bisa pergi ke Mekkah.

TPA di Masjid memang benar-benar saya yang mengelola sendirian. Awalnya hanya saya guru mengajinya, namun lambat laun bertambah-bertambah hingga ada tiga guru ngaji. Awalnya tidak berbayar, hingga akhirnya disarankan oleh ibu-ibu warga kampung untuk berbayar. Sebagai bentuk apresiasi karena sudah mengajar mengaji. Awalnya saya tolak dengan baik-baik, akan tetapi ibu saya menyarankan untuk diterima saja. Terkadang tuhan memberikan hal baik dari hal yang baik juga. Akhirnya saya menerima itu semua. Dan jadi lah berkembang segala fasilitas pengajaran. Tidak ada yang berkeberatan. Semua pun akhirnya berjalan lancar.

Hingga pada suatu ketika, Seorang laki-laki dewasa datang bersama dua anak perempuannya datang menghampiri sekat kelas saya mengajar.
“Assalamualaikum”

Saya berhenti sejenak dan menyuruh anak-anak belajar sendiri dulu. Saya menghampiri lelaki itu.

“Wa’alaikumsalam…”

“Dengan Ustadz Cahyo?”

“Bukan, bukan Ustadz, panggil Cahyo saja Pak”

Lelaki itu tersenyum sambil menganggukkan kepala, pertanda dia setuju bahwa dipanggil Ustadz itu sangat berat sekali pertanggung-jawabannya.

“Ini, mau daftarin mereka belajar mengaji!”

“Oh iya, Saya Dayat”

“Saya Cahyo”

“iya tadi sudah dikasih tahu”

“oh iya.”

Mendadak wajah saya memerah padam. Pantulan kaca jendela masjid seakan-akan mencaci saya sedemikian rupa. Betapa terlihat bodohnya saya ketika harus berhadapan dengan orang asing. Dan entah kenapa seakan-akan semua aliran darah dalam tubuh ini terhenti.

“Masih bisa daftar kan pak Cahyo?”

“Oh masih kok.”

“kebetulan kalau mengaji disini, bisa lulus kalau sudah lancar membaca Al Quran dan hapal dengan beberapa doa-doa serta terjemahannya.”

“Wah bagus kalau begitu”

“Insya Allah”

Sebelum lebih jauh membahas anak Mas Dayat yang belajar mengaji, saya sedikit membocorkan sebuah rahasia. Ternyata wajah mas Dayat ini tidak terlalu asing bagi saya. Entah pernah jumpa dimana. Mungkin kah hal ini yang membuat saya menjadi salah tingkah. Rupanya Mas Dayat membaca gelagat saya. Dia lantas menyarankan untuk melanjutkan mengajar. Saya mengiyakan. Bersalaman. Mas Dayat berpamit, sembari menitipkan kedua anaknya.

“mohon bantuannya ya Pak Cahyo.”

Saya lantas mengangguk dengan setengah bergumam, “tampan”

Mas Dayat pergi. Saya kembali mengajar. Anak-anak kembali tenang setelah dari tadi berisik bagai tawon-tawon yang kehilangan ratunya. Kuperkenalkan dua anak Mas Dayat kepada santri-santri lainnya. Kembar ternyata. Baru sadar. Mirip bapaknya. Kurasa. Pasti ibunya cantik. Bisa jadi.

Di warung makan mak Ani, saya menyeruput secangkir kopi. Pagi itu sepertinya berbeda dari pagi-pagi biasanya. Gossip yang sudah saya himpun dari berbagai sumber, menangkap informasi yang penting. Rupanya, Mas Dayat ternyata menempati rumah lama Pak Dirman, mantan RT di kampung yang pernah terlibat skandal perselingkuhan dengan asisten rumah tangganya sendiri. Hampir setahun rumah itu kosong. Tak berpenghuni. Hanya sekali-sekali terlihat beberapa orang yang mengamati rumah itu. Entah mau dibeli atau hanya sekedar melihat saja.
Hingga pada seruputan terakhir, muncul mas Dayat di belakang pas saya duduk menikmati kopi. Aroma tubuhnya wangi memancar ke segala ruang. Bau gorengan ikan asin mendadak malu menyentil hidung. Entah wangi parfum apa yang dia gunakan. Seketika raga saya langsung menggelinjang.

“Mas Dayat?”

“Pak Cahyo, iya nih mau makan di warung aja, ibunya anak-anak lagi sakit.”

“Cahyo aja. Belum bapak-bapak lho ini… masih mas-mas”

Mas Dayat tertawa lepas. Tanpa kusadari tangannya meremas pundak saya. Hangat. Membuai saya kepada alam mimpi yang menohok imajinasi. Hanya halusinasi.

Kenyataannya Mas Dayat sudah duduk di samping saya sambil menikmati hidangan makanan yang saya sendiri tidak tahu kapan dia bisa memesan makanan secepat itu.

“Makan mas Cahyo!”

“iya. Selamat makan Mas…”

Rupanya mas Dayat bukan tipikal orang yang makan harus diam menikmati atas apa yang dia makan. Dia doyan sekali ngomong. Apa aja dia omongkan. Sampai-sampai nasi sempat muncrat-muncrat ke wajah saya.

Untung kamu cakep”, celoteh saya dalam hati.

Dari membahas kerjaannya hingga membahas pengalaman dia yang pernah dibaringkan di meja bedah gara-gara ada gunting yang tertinggal di dalam perutnya. Dan lama-lama semakin diperhatikan semakin lucu bentukan mas Dayat. Semakin menyenangkan dan saya menemukan kenyamanan. Aku senang berada di dekatnya.
Mas dayat buru-buru pulang setelah menerima nasi bungkusan yang dia pesan. Dia bayar. Menerima kembalian. Dan sekelebat langsung menghilang. Hanya meninggalkan suara dia dari kejauhan.

“maen aja ke rumah. Kalau ada waktu!”

“SIAP 86!”

Percaya tidak percaya, kami jatuh cinta. Saya cinta dia, dan dia cinta saya. Katanya. Kalau saya sih memang benar-benar cinta dia. Entah dia bagaimana. Jangan heran bila tiba-tiba kami sudah saling jatuh cinta. Bagaimana tidak jatuh cinta. Mas Dayat yang selalu mengantar anak-anaknya pergi mengaji. Kemudian kalau tidak ada kerjaan dia malah menunggui sembari menatapi wajah saya yang entah ada apanya hingga dia mau-maunya berlama-lama menunggu. Saya pernah besar kepala. Tetapi malah oleh dia saya diejeknya.

Dulu, awalnya saya hanya menganggap dia kakak semata. Namun waktu seiring berjalan, ungkapan kakak hanya sekedar modus belaka. Bagi saya. Bagi dia pun, awalnya menganggap saya adiknya. Adik dari mana, kulit dia putih bersih sementara saya coklat eksotis penuh pesona. Pada akhirnya kami berdua hanya sepakat sama-sama untuk saling ingkar, bahwa dari awal ketemu pun kami sudah ada rasa. Hanya saja rasa itu masih sekedar rasa hampa.

Mencintai saya tidak mudah, tidak butuh hanya Assalamualaikum saja. Dan hebatnya, mas Dayat tahu formulanya. Untuk bisa meluluhkan hati saya. Entah radar apa yang dia gunakan hingga bisa tahu siapa saya sebenarnya. Tampilan saya sebiasa saja. Tidak lebih. Tidak mencolok. Biasa saja.

Hingga pada suatu ketika, saat saya sedang singgah di rumahnya gara-gara dia butuh bantuan untuk mendekorasi ruang untuk acara pesta ulang tahun ke dua anaknya. Saya datang dengan kemampuan menghias yang ala kadarnya. Berbekal dari tontonan youtube, saya menampung banyak sekali ide, dan alhasil ruangan terhias dengan cukup cantik. Menurut saya. Kami berdua lelah, walau sebenarnya dibantu sama asisten rumah tangganya juga.

Saat istirahat, tetiba mas Dayat memanggil-manggil nama saya. Entah sejak kapan dia sudah berada di dalam toilet kamar mandi belakang. Kuhampiri. Kutemukan dia hanya bersuara dari balik pintu. Disuruhnya saya masuk ke dalam. saya masuk, tapi tidak lupa lihat-lihat keadaan. Masih sepi. Saudara-saudara dia masih belum berdatangan. Istrinya masih di tempat kerjaan. Aman. Saya masuk pelan-pelan.
Mas Dayat mengunci pintu. Dengan erat tubuh kami saling beradu. Dipeluknya saya penuh erat. Tubuh yang ringkuh ini susah menghimpun napas. Dia melihat gelagat. Merenggangkan pelukan. Dan meninggalkan bekas pelukan. Tidak berhenti sampai disitu. Lanjut. Dia menanggalkan kaos saya dengan membabi buta. Tidak sabar saya rasa. Matanya sayu mencumbu tatapan saya yang membisu. Dia menciumi tanpa henti. Dari bibir pindah ke pipi. Lanjut ke leher hingga belakang telinga. Turun ke bawah mendarat di dada. Puting saya yang tidak seberapa pun menjadi korbannya. Alangkah nikmatnya kesakitan ini. Saya dihajar dengan cinta, mungkin begitu maksud perbuatannya. Diremas pantat saya sedemikian rupa. Apa enaknya coba. Saya membalas meremas miliknya tidak kurasakan apa-apa. Naluri saya lebih baik meremas apa yang bisa membuat saya gemas. Dia semakin buas dan tambah beringas. Lama-lama saya dibuatnya lemas berdiri. Karena mengeras, saya membelakangi. Dia pun tahu diri. Saya dihujani hentakan-hentakan penuh energi. Ada kekuatan tersembunyi. Tak kusangka dia sehebat Ini. Ada bibirnya yang berbisa lamat mengucap, “Mas sayang kamu!”

Seketika itu juga saya mendesah. Kata-katanya sungguh luar biasa. Jiwa saya meronta-ronta.

“Mas, kalo sayang, saya bisa bilang apa?”

Mendadak mulut saya dibungkam. Gerakannya semakin liar membabi buta. Jelas-jelas saya dihajar mentah-mentah. Lemas sudah tak berdaya. Saya menyerah.

“Sudah!”

Lantas kehangatan itu mengalir pelan membasahi kulit. Mas Dayat tersenyum puas. Lamat-lamat dia berbisik di telinga, “Terima kasih ya.”

Sembari membersihkan diri, saya mengangguk pedih. Sisa-sisa perjuangan dalam menegakkan cinta dan keadilan telah hilang. Saya keluar sembunyi-sembunyi. Takut ada Dara dan Rara yang memergoki. Mereka berdua selalu curiga kalau kami bercengkerama berdua. Bahkan ibu mereka saja tidak pernah ada waktu untuk berdua dengan bapaknya. Sementara saya seperti punya kuasa untuk mengatur waktu Mas Dayat ada selalu untuk saya. Alangkah hebatnya guru ngaji ini. Batin saya membanggakan diri.

Setelah kejadian itu, saya dua minggu tidak pernah sekali bertemu muka dengan mas Dayat. Entah. Saat itu kita tidak sedang saling mencari. Kita juga tidak sedang saling merindu. Kita hanya saling jual mahal. Padahal kangen setengah mati. Tersiksa. Pasti.

Berpapasan di jalan pun tidak saling berpandangan. Pura-pura tidak tahu. Padahal malu telah saling berbuat sesuatu. Yang menciptakan rindu menjadi semakin rancu. Antara sayang atau nafsu.

Hingga suatu ketika, saat hasrat semakin menggebu untuk bertemu, Mas Dayat datang ke rumah. Disambut Ibu yang sedang menyulam taplak meja tamu. Ibu selalu saja ramah bila melihat mas Dayat main ke rumah. Urusannya selalu beralasan karena ponselnya rusak. Ibu selalu memulai tanya.

“rusak lagi?”

“Iya. Habis jatuh.”

“Sudah minta ganti itu.”

“Sepertinya begitu”

Di ruang tamu, Ibu memilih pindah ke depan layar kaca. Menyaksikan sinetron yang dia tidak suka tapi masih saja diikutinya. Sementara saya dan mas Dayat mulai semakin tidak jelas dengan maksud semuanya. Dia hanya diam menunggu saya menyapa duluan. Sementara saya, harus bilang apa. Hingga akhirnya dia membuka obrolan. Menanyakan kenapa saya berhenti mengajar mengaji. Saya tidak mau memberi jawaban.

“Malu aja!”

“kok malu?”

“Masih begini-begini aja dari dulu.”

“Padahal saya mau ngajak kamu umroh bareng.”

“……”

“Iya serius! Tapi kamu udah gak ngajar lagi ya?”

“…..”

“Jangan dengerin apa kata orang!”

Seketika mataku merasa pedih. Entah seperti kemasukan sesuatu. Sejenak ada linangan air mata. Saya menunduk pasrah.

“Kok malah nangis. Dara sama Rara masih pengen belajar.”

“Saya bingung mas. Orang-orang masih saja ngomongin saya. Saya capek.”

“Ya udah gini saja, Mas minta semua data identitas kamu. Besok temenin mas daftar umroh!”

Dan rumor keberangkatan saya umroh sudah menyebar kemana-mana. Semakin panas pula orang-orang yang kemarin pernah menjatuhkan saya. Namun semakin banyak orang-orang yang mulai terlihat menjilat dan menunjukkan wajah palsunya. Setelah diremehkan, kini disanjung-sanjung. Mungkin alasan ini lah mas Dayat mengajak saya Umroh. Tapi saya berharap dia niatnya hanya sebatas ibadah. Atau bisa jadi memang niat cinta dia kepada saya. Dibuat besar kepala lagi saya olehnya.

Genap tiga bulan lewat. Setelah pulang dari tanah Mekkah. Semuanya kembali seperti semula. Saya kembali mengajar dengan kembali dihajar oleh sebagian warga yang kurang suka dengan saya. Katanya saya korupsi. Katanya saya dipelihara om-om.

Dan mas Dayat semakin dekat dengan saya. Sangat dekat. Bahkan dia sudah tidak sungkan lagi main ke rumah. Denga tanpa alasan. Main saja. Seakan lupa anak dan istrinya. saya pun menjadi semakin cinta. Lebih dari sayang. Ibu curiga. Saya terserah. Ibu diam saja. ya sudah. Hubungan kami sepertinya sudah tidak lagi begini-begini saja. sebuah hubungan yang lebih. Entah kenapa baru kali ini aku merasakan sangat disayangi dan dicintai. Mas Dayat memberi bahagia. Dan saya bersuka cita merayakannya. Dan untuk pertama kalinya, Mas Dayat bersenggama dengan saya di kamar. Melumat segala rasa yang ada. Merengkuh rindu-rindu yang dulu tidak terbayar. Kami pun sadar, bahwa cinta memang begini adanya.

Besoknya mas Dayat datang ke rumah. Dengan baju kerjanya. Mampir alasannya. Saya yang masih tertidur hanya mendapat pesan dari Ibu. Mas Dayat ada tugas di luar kota. Di Banjarmasin katanya. Dia menitipkan Rara dan Dara kepada saya.
Saya sempat marah kepada Ibu. Kenapa saya tidak dibangunkan saat mas Dayat ada di rumah. Namun saya mencoba untuk tenang. Mas Dayat pasti punya alasan. Dan alasannya pasti itu.

cant-sleep-phone-number-1024x704.jpg.optimalTernyata kepergian mas Dayat membuat saya tidak tenang. Saya uring-uringan. Rasa rindu yang hanya bisa dibalas dengan telfon-telfonan hanya membuat saya semakin keluh. Cinta tidak begitu kataku. Saya marah kepadanya. Mas Dayat menyalahkan keadaan. Saya membenarkan keegoisan. Walau ujung-ujungnya saya harus sadar. Bahwa tidak ada yang salah dengan semua ini. Dan lebih baik saya memilih pergi. Kalau pun cinta pasti akan kembali. Untuk sementara, saya memilih Jakarta. Tetapi tidak untuk menjadi guru ngaji. Ada pekerjaan yang lebih baik dan sesuai dengan cita rasa saya. Dan saya masih percaya, apa yang saya lakukan sampai sekarang, ini tidak untuk selamanya. (iwd)

~ by Imamie on January 19, 2020.

Leave a comment