Cerpen ::: Panggil saja Alex

Orang memanggilku Alex. Sesederhana itu aku mempunyai nama. Dan semenjak aku hidup di Jakarta, nama itu yang selalu kugunakan untuk memperkenalkan diri. Beberapa diantara mereka tidak tahu, nama asliku Shamsudin. Tapi kebanyakan mereka tidak peduli. Mereka lebih butuh jasaku ketimbang namaku. Terlebih, aku cukup punya mutu, sehingga nama Alex sepertinya layak ketimbang Shamsudin.

Tanpa bermaksud mendeskreditkan nama seseorang, namun kenyataan selalu berkata demikian. Alex lebih dominan dan sangat pasaran ketimbang Shamsudin atau Iman.

man-in-bed

ilustrasi

Di usia yang hampir menginjak kepala tiga, aku masih merasa mampu untuk menekuni pekerjaan yang susah aku tinggalkan. Menjadi mesin pemuas nafsu lelaki-lelaki. Semacam gigolo. Namun aku tidak meladeni permintaan perempuan. Hanya laki-laki. Entah kenapa, sampai kini, aku menganggap ada yang salah dengan beberapa bagian dari otakku. Tapi lambat laun, yang kudapatkan sekarang adalah rasa penyesalan karena sebagian hidup aku habiskan hanya untuk memikirkan jawaban tentang hal yang tak perlu dipertanyakan. Semua aku kembalikan kepada kenyamanan. Tidak mungkin salah, kalau masih saja aku lakukan terus menerus, bagiku salah dan benar itu relative. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihat dan merasakannya.

Sudah hampir 6 tahun aku bermukim di Jakarta. Daerahku dulu berpindah-pindah. Dari Surabaya, aku ke Jakarta berbekal informasi dari kawan sekolah dulu yang sudah menetap lebih dulu di Jakarta.

Awalnya, aku tinggal di daerah Tebet. Tebet pinggiran. Menyesuaikan keadaan kantong kala itu. Kerja pertamaku menjadi Office Boy di salah satu Lembaga Sosial Masyarakat di daerah Tebet. Saat itu, yang ada di dalam kepala aku adalah, kerja dan pegang uang.

Hampir dua bulan menjalani kehidupan yang sepertinya tidak ada putusnya. Selalu berlanjut. Saat itu hari libur hanya minggu sore. Minggu pagi aku habiskan untuk bermalas-malasan, tidur sepulas kucing hingga merasa bahwa tidur sudah cukup melelahkan hingga terbangun, dan disitu lah aku bisa merasakan kalau kehidupan aku mulai tersambung kembali dengan rutinitas yang mengharuskan aku untuk mencuci baju, membersihkan kamar kos dan kalau sempat, tidur lagi.

Hingga suatu ketika, ada salah satu karyawan kantor yang nyeletuk polos kepadaku saat ngobrol istirahat siang. Saat itu hanya tinggal kami berdua saja yang masih di dapur. Karyawan lain sudah balik ke ruangannya masing-masing. David, nama karyawan itu mulai menunjukkan wajah serius.

“Gue gak yakin kerja kamu cuman jadi OB aja? Jangan-jangan kamu nyamar ya Mas Din?”

“Nyamar gimana mas?”, tanyaku heran.

“Kamu tuh cakep, gue dari dulu gak pernah percaya kalo kamu itu OB!”

Kemudian David mulai mendekatiku takut-takut sesekali mencoba memegang lengan aku.

“Lihat deh, badan kamu ini proposional banget, kamu bisa jadi model sebenernya”

Pelan-pelan aku menepis sentuhan David dengan sopan. Namun David tidak menyerah begitu saja, dia lantas menatap wajahku tajam.

“Beneran, kamu tuh cakep, serius, gue gak bohong Mas Din!”

Seketika itu juga, aku langsung merasakan suasana yang canggung. Dalam hati aku yang ada hanya suara-suara sumbang yang mengatakan bahwa David sedang tidak beres. Mungkin dia mabuk. Walau aku tidak mencium bau alcohol dari dalam mulutnya. Aku pamit meninggalkannya sembari mengemasi piring-piring bekas kudapan gorengan sisa rapat yang sudah kosong menyisakan tiga cabe rawit.

Walau berusaha untuk melupakan, perlakuan David kala itu masih membuat aku terngiang-ngiang. Masalah baru telah datang, pikirku.

Semenjak kejadian itu, David selalu ramah dan berbeda dari sebelum-sebelumnya. Terkadang aku jadi salah tingkah dibuatnya. Padahal menurut desas desus, pribadi David di kalangan karyawan lainnya dikenal cukup tertutup dan susah diajak gabung. Tapi entah kenapa, denganku kemarin, dia merasa berbeda dari apa yang diomongkan orang-orang.

Pernah suatu kali, David menawariku makanan yang sengaja dia masak dari rumahnya. Pikiran aku terlalu polos saat itu. Aku terima pemberiannya. Tidak ada sama sekali terbersit pikiran negative yang aku sematkan kepadanya. Aku memakannya dengan suka cita. Beruntung di hari yang bertanggal tua, ada seseorang yang ikut membantu meringankan beban kebutuhan perutku.

Lama-lama dimataku, ada semacam rasa sesuatu yang berbeda dari biasanya. David terlihat luar biasa. Entah karena apa. Aku merasa sesak bernapas. Seakan ada gejolak yang hadir tanpa permisi. Aku hanya bisa terduduk di kursi. Mendadak lemas berdiri. Aku lupa punya jantung, karena bibirku pun ikut berdecak. Seakan-akan darahku hendak semburat. Sepertinya semua bermuara pada satu titik. Aku merasakan ada yang mengeras sekaligus menegang. Diantara selangkangan ada yang menggelinjang. Ada apa dengan diriku?

David tetap luar biasa. Sepertinya dia memunculkan pesona dari biasanya. Atau jangan-jangan ini semua efek dari susuk sakti yang digunakannya. Tapi tidak mungkin juga, David terlalu kota untuk masih bisa mempercayai hal-hal yang bisa membuat seisi kantor tertawa terbahak-bahak semuanya. Tanda Tanya besar. ADA APA DENGAN DAVID?

Semenjak fenomena jantung berdebar bila didekati David, rasa-rasanya berangkat kerja adalah suatu hal yang paling berat dalam hidup. Ketakutan ataukah perasaan yang aneh? Baru kali ini aku mendapati kebingungan yang luar biasa. Jangan-jangan aku jatuh cinta. Pada orang yang salah. Pada manusia yang salah. Kenapa David?

Jarak kosan dengan kantor bisa aku tempuh dengan berjalan kaki. Sekitar satu kilometer setengah. Terkadang ada tumpangan dari tetangga kosan yang kebetulan mau berangkat kerja. Lumayan menghemat tenaga. Tapi sering juga lebih memilih jalan kaki. Bila merasa tubuh kurang gerak dan ingin sembari cuci mata. Karena sepanjang jalan menuju kantor biasa aku jumpai pemandangan yang cukup menghibur.

Tapi entah kenapa, perjalanan ke kantor akhir-akhir ini terasa kosong. Yang ada malah bayangan David yang selalu menghantui. Senyumnya tiba-tiba muncul dan serasa membawaku untuk bersegera bertemu dengannya. Namun semakin kusangkal semakin menyakitkan. Aku tidak bisa menghapus bayangannya. Kenapa?

Percayalah. Tiap kali berangkat kerja, aku selalu merasa bahagia. Seakan-akan ada rasa yang bakal meledak bila aku tak juga berangkat kerja. Yang biasanya jarak kutempuh menghabiskan waktu 25 menitan, kini 15 menit sudah standby di kantor. Membersihkan segala apa yang harus aku bersihkan. Merapikan segala apa yang harus aku rapikan. Menyiapkan segala apa yang harus aku siapkan.

Gelagatku mencurigakan kata Pak Anwar. Lebih rajin dan cukup menyenangkan. Beda dengan yang kemarin-kemarin. Dia memberi ucapan selamat. Ketika aku tanya selamat atas apa, dia hanya menjawab dengan menepuk bahuku. Aku hanya bisa tersenyum membalas wibawanya yang tak pernah lepas dari tatapan wajahnya.

Hingga tetiba David muncul dari belakangku sembari menepuk pundakku.

“Mas Udin orang jawa kan?”

“Hah? Iya “

David kemudian menyodorkan ponselnya kepadaku. Terbaca di layar pesan yang berisi tulisan-tulisan yang otomatis aku mengenalinya. Tulisan berbahasa jawa.

Gusti Allah mboten sare. Putus wae. Matur suwun!

“Arti semuanya apaan?”

Mata David memerah. Dia menarik kursi sekenanya. Dan seketika duduk dengan lemasnya.

“Putus kan?”, suaranya setengah memelas.

Aku hanya bisa membalas dengan mengangguk saja. Entah aku musti bagaimana. David mulai meneteskan air mata, walau Nampak sangat berusaha keras untuk menahannya agar  tidak terlihat melinang di pipinya. Entah apa yang membuat aku refleks mengambil tisu di atas meja dapur. Kuberikan pelan-pelan kepadanya. Namun dia hanya diam saja. Spontan saja aku langsung dengan lancang mengelap air matanya.

“Buruan dilap air matanya, malu sama yang lain.”

“Atau kalo masih mau nangis, di toilet belakang ajah, jarang ada yang make disana.”

Seketika David tersadar. Dia langsung meraih tisu yang ada ditanganku. Dan buru-buru meninggalkan ruangan menuju ke arah toilet.

Aku canggung kalau berada di posisi ini. Entah apa yang harus aku lakukan. Tapi yang jelas, tanpa kusadari, kakiku malah melangkah menuju ke toilet tempat David menyembunyikan diri.

Toilet belakang memang jarang sekali dikunjungi semua karyawan. Kebanyakan mereka memilih toilet yang ada di ruang tengah. Selain karena lebih terang dan nyaman, toilet ruang tengah cukup wangi. Pak Anwar pernah menegurku, dia tidak mau toilet bau. Semenjak teguran itu, aku tak pernah absen memberikan wewangian dari berbagai medium. Parfume spray, dupa aromaterapi dan pewangi kloset.

Di dalam toilet, David menyandarkan tubuhnya ke tembok porselin. Pencahayaan yang hanya memanfaatkan sinaran matahari dari arah ventilasi menciptakan kesan sendu yang mendayu. Aku masuk dan mendekat . David menyadari kedatanganku. Aku hanya bisa menatapnya dengan penuh tanda tanya. Apa yang harus aku lakukan?

Seketika David menatapku sambil berlalu. Dalam hatiku, ada anggapan David sudah kembali tenang. Dan siap kembali bekerja. Namun saat aku balik badan, aku masih melihat dia masih ada di depan pintu yang sudah setengah terbuka. Terdiam. David menutup kembali pintu dan menguncinya. Lantas menghampiriku dan memelukku erat. Kaget bukan kepalang. Aku hanya bisa diam tak lantas bisa berbuat apa. David sesenggukan menahan tangis. Pelukannya makin erat. Entah kenapa dibalik itu semua, aku merasa ada sesuatu yang hangat. Aku mencuri pandang kea rah David, dan ternyata David pun pelan-pelan menatap aku. Ketika mata kami beradu pandang, aku kalah. Aku kuwalahan. Aku salah tingkah. Aku kebingungan.

Tiba-tiba tangan David sudah mendarat di pipiku. Dia menyentuhku dengan segala kehangatan dan pengharapan yang nyata. Seakan ada bisikan di kepalaku yang menuntunku untuk menyambut sentuhannya.

Dadaku yang menyimpan jantung berdetak seakan-akan sudah tak kuat lagi menahan getaran jiwa yang ada. Sepertinya dia tahu, bahwa aku menyimpan rasa yang hebat.

David mendorongku pelan-pelan ke dinding. Seperti kem bali menegaskan, bahwa David masih menguasai tubuhku. Tangan yang tadi menyentuh pipi, kini bergeser ke tengkuk leher. Pelan-pelan dia mengarahkan kepalaku untuk segera menghampiri bibirnya yang merekah merah muda.

Entah setan apa, kami berciuman dalam keheningan. Aku merasakan sensasi yang luar biasa. Walaupun banyak perasaan yang membingungkan, namun ada satu perasaan yang sangat membahagiakan. Aku membalas ciuman David dengan segala upaya. Rupanya dia pandai memainkan rasa. Ciumannya indah. Aku merasakan kehangatan yang pelan-pelan memanas di sekujur tubuh. Organ vital badan yang lemas pun seakan-akan terhipnotis untuk menjadi ganas. Aku mendadak hitam seketika. Kutepis semuanya dengan segala apa yang ada. David terhempas ke belakang. Lantas aku diam. Dia diam. Kami sama-sama diam. Tapi memang benar. Diam itu menyebalkan. Tak lama, aku merebut kembali raganya. Kupagut sedemikian rupa. Kulucuti apa yang bisa kulucuti. Kutelanjangi apa yang bisa kutelanjangi. Kami sama-sama lepas busana. Aku hanya pasrah melihat David yang dengan begitu lincahnya memainkan peran utamanya. Kita berdua sepakat tanpa mengeluarkan kalimat-kalimat untuk saling memberi nikmat.

“Alamat! Kalau ketahuan Pak Anwar, aku bisa tamat!”

Kini, kalau aku melewati daerah Tebet, pasti akan teringat bayang-bayang David. Ada dimana dia sekarang. Masih tajam ingatanku soal bujukan dan rayuan dia yang menjerumuskan aku untuk menjadi lacur lanangan. Kita pernah jadian, pacaran dan satu kontrakan. Hidup satu atap awalnya menyenangkan, namun pelan-pelan menjadi ancaman. Pelan-pelan aku jadi tahu siapa David. Mulai terkuak keburukan-keburukannya. Yang terlibat kasus utang piutang dan penggelapan dana kantor. Hingga dia di pecat, sementara aku pun lama-lama memilih resign dan pindah ke pekerjaan yang lain.

Hingga kami berdua sama-sama nol pemasukan. Namun hutang harus segera dilunaskan. Kami berdua kuwalahan. Aku yang masih sayang, memilih untuk tidak memisahkan diri. Tetap berjuang. Kala itu aku masih percaya bahwa cinta itu ada. Kala itu.

Sampai pada waktunya, aku menawarkan David untuk merelakan diri ini menerima jasa pijat panggilan. Yang tidak biasa. David mengiyakan. Aku menyesalkan. Tapi tetap kulakukan.berbekal ilmu pemijatan dari kampung, aku memasarkan jasa lewat aplikasi social media. Dari kitab kuning hingga facebook dan twitter.

Entah setan apa, aku melakukannya demi Dia. Beberapa kawan yang sudah menjadi dekat akhirnya menjauh selepas tahu apa yang aku kerjakan. Di mata mereka hina. Aku tak mengapa. Biar saja. Demi cinta. Selalu begitu ketika aku berkilah. Ini tidak untuk selamanya. Dan untungnya, aku disadarkan oleh kejamnya dunia. Bahwa hidup di dunia, selain mengandalkan mata hati, jangan pernah lupa untuk menggunakan mata yang sesungguhnya. Meninggalkannya memang menyakitkan dan tapi harus kulakukan.

Dan nyatanya, sampai detik ini, aku masih bergelut dengan dunia yang masih sama. Dibilang lonte, kucing, gigolo, pelacur sudah biasa. Hidup tidak melulu soal label terkait apa yang kita kerjakan. Bagiku, hidup hanya lah masalah waktu. Dan aku masih percaya, apa yang aku lakukan sekarang, ini tidak untuk selamanya. (iwd)

~ by Imamie on January 13, 2020.

Leave a comment