Pernikahan. Sebuah ritual yang disakralkan sebagai perayaan pertanda bahwa ikatan relasi antar sesama manusia diakui keabsahannya untuk saling berbagi hidup dengan penandatanganan kontrak sertifikat dari badan keagamaan dan pemerintahan secara hukum, yang artinya cinta hanya milik berdua. Sampai maut memisahkan. Atau terpisah karena seuatu sebab.
Pertanyaannya, pentingkah sebuah pernikahan itu? Bagi Katharina (Saskia Vester) sangat penting dan menjadi kabar yang menggembirakan. Terlebih dia bakal akan punya menantu dan tentu saja bakal cucu. Dua hal yang selalu diidam-idamkan oleh seorang Ibu manapun. Pernikahan juga sebagai penanda bahwa tanggung jawab sebagai orang tua selesai sudah. Walau pada kenyataannya, setelah menikah pun , orang tua masih tidak ada capek-capeknya mengurusi lingkup bahtera hidup anak dan menantunya.
Sebagai wujud kegembiraannya, Katharina menyebarkan berita menggembirakan tentang anaknya Hans (Andreas Helgi Schmid) yang bakal pulang kampung dan merayakan pernikahan sekaligus. Ibu mana sih yang gak seneng mendengar anaknya bakal nikah. Alhasil satu RT pada tahu bahwa sebentar lagi Katharina akan punya besan dan tentu saja menantu cantik.
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hans dan Nicki (Manuel Witting) meluncur ke sebuah desa kecil yang menjadi tanah kelahirannya. Sebuah desa yang masih kental dengan kultur budayanya. Kalo diibaratkan di Indonesia, desa di Jerman ini masih menggunakan pakaian tradisional seperti kebaya, kain panjang dan juga blangkon. Entah apa sebutannya untuk pakaian tradisional jerman ini…
Hans berharap agar pernikahannya bisa dirayakan di desa tersebut. Bersama Nicki, Hans pulang kampung menemui Ibunya untuk membicarakan rencana pernikahannya. Masalahnya, apakah Katharina sudah siap? Apalagi dia belum tahu, bahwa Hans adalah Gay…
Dan dari situlah drama dimulai. Katharina yang shock gara-gara melihat Hans membawa pasangannya Nicki yang semula dikira cewek. Betapa terkejutnya hingga tidak bisa berkata-kata. Katharina tidak bisa menerima kondisi itu. Sehingga pengusiran spontan pun terlontar dari bibirnya. Sebagai single mother, Katharina hanya bisa menumpahkan keluh kesahnya kepada si sahabat karib, Rosi (Franziska Traub).
Masih bertahan dengan impiannya untuk menikah, Nick dan Hans memilih mengambil penginapan tak jauh dari desa itu. Pada awalnya Nicki memilih untuk pasrah dan pulang kembali ke kota di Berlin, mengingat perlakuan Katharina kepadanya. Namun Hans tetap pada tujuannya semula.
Ternyata, kabar burung perihal Hans yang Gay sudah mulai menyeruak ke seantero desa. Akhirnya Katharina seperti kejatuhan pesawat. Telak. Menjadi gunjingan warga, karena anaknya membawa aib keluarga. Ditambah lagi mantan suaminya yang juga ikut-ikutan pusing mendengar kabar tersebut.
Perjuangan Hans demi mendapatkan izin menikah di desa tersebut rupanya dijegal oleh KUA desa setempat. Ibarat kata, surat pengajuannya ditangguhkan, sebagai kata ganti dari penolakan. Kekecewaan demi kekecewaan telah dialami mereka berdua. Sikap sinis dan tidak bersahabat dari warga setempat membuat Nicki tidak nyaman. Namun Hans masih tetap bertahan…
Hingga sampai pada titik puncak dimana Katharina mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari segala penjuru. Mulai dari lingkungan kerjanya, di sebuah perbankan dimana dia bekerja sebagai teller bank, tak jarang dia mendapat sikap yang sebenarnya “hinaan” dari para nasabah. Dari para jemaat gereja yang tergabung dalam grup choir/paduan suara. Dan tentu saja warga desa setempat.
Sekalipun Katharina ada usaha untuk membuat dan meyakinkan bahwa Hans bisa menjadi lelaki “normal” (baca: heteroseksual) tetap saja, yang namanya seksualitas itu cair. Hanya bisa berubah mengikuti hasrat. Kalau hasratnya tidak mengisyaratkan untuk berubah, ya mau bagaimana lagi. Psikiater sehebat apapun tak akan bisa mengubahnya.
Sempat Katharina mencari jawaban kepada seorang dokter di desa tersebut, jawabannya juga cukup rasional. Bahwa memang tidak ada yang bisa mengubah kondisi tersebut. Gay adalah bawaan sejak lahir. Hanya saja, sejak kecil mereka belum mempunyai identitas seksual yang mereka pahami. Mereka hanya bisa merasakan bahwa mereka berbeda. Hans berbeda. Hans menyukai guru olah raganya, Pak Brauner. Tidak ada sesiapapun yang memaksakan Hans untuk menyukai guru olah raganya. Hasrat seksual (ketertarikan secara seksual) nya lah yang menstimulasi otak Hans untuk mengagumi sosok yang berjenis kelamin Laki-laki itu.
Hingga suatu ketika, saat Katharina benar-benar kalut dan lelah. Jawaban atas semua yang dia pertanyakan selama ini ada pada sosok yang di sepanjang film tidak pernah Katharina sadari….
Sebuah film yang memuat banyak sekali pelajaran mengenai penerimaan atas identitas seksual seseorang. Bagaimana seorang ibu yang pada awalnya masih menganggap bahwa putra satu-satunya yang selama ini dia sayangi adalah seorang gay yang nyatanya pembawa aib, hingga dia bisa mulai menerima keberadaan dan kondisi putranya apa adanya.
Tidak salah bila judul dalam film ini, All you need is love. Karena hanya dengan cinta lah kita bisa melihat sekacau dan seburuk apapun perbedaan itu. Dengan cinta, hal yang berlawanan bisa menjadi perbedaan yang indah. Hal yang berhaluan bisa menjadi dua kutub yang saling tarik menarik.
Namun ketika ada garis besar yang muncul di dalam film ini, haruskah ada pernikahan? Toh film ini sendiri memberi alternatif jawaban yang mungkin bisa membuat para LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) bernapas lega. Biarlah pernikahan yang bersertifikat milik para Heteronormatif. Sesungguhnya makna pernikahan sendiri, pada akhirnya hanya menjadi bagian akhir dan pelengkap dari makna sebuah hubungan atau relasi atas pondasi cinta, kasih sayang dan kesetiaan. Tanpa menikah pun sepasang anak manusia bisa hidup bersama selama-lamanya. Sudah ada banyak contoh kasus untuk hal itu.
Ada satu scene dimana saat Katharina berada di dalam sebuah pub yang berisi mayoritas Lesbian. Dia dihampiri salah satu pengunjung pub dan mengajaknya untuk berdansa. Namun Katharina dengan halus menolaknya karena dia merasa tidak seperti perempuan-perempuan yang berada di dalam pub tersebut. Namun dengan santai si pengunjung pub tadi berkata, “ saya tidak menanyakan kamu apa atau siapa, saya hanya bertanya apakah kamu mau berdansa dengan saya…” dan dengan tersipu malu, Katharina menerima ajakan teman barunya itu. Bisa gue ambil kesimpulan, bahwa dialog tersebut dalam sekali maknanya. Bahwa, seorang Gay atau Lesbian yang mengajak seseorang untuk berdansa, makan bersama dan kegiatan yang lain, tidak harus serta merta dikait-kaitkan dengan urusan orientasi seksual. Karena pada kenyataannya, Lesbian dan Gay adalah bentuk-bentuk dari orientasi homoseksual yang setara dengan heteroseksual. Sama-sama pecahan dari keragaman Orientasi seksual.
Jadi, kalau ada paham yang menyebutkan bahwa gay menular, sama saja seperti membuat stigma sendiri, bahwa heteroseksual juga menular. Malah stigma menular lebih pas digunakan untuk kaum heteroseksual ketimbang homoseksual. Karena diperkuat dengan faktor penerus keturunan. Tentu saja secara biologis, pasangan homoseksual stagnan dalam masalah generasi penerusnya. Kalau kata Ellen DeGeneres, toh yang ngelahirin homoseksual kan heteroseksual, ya salahkan heteroseksualnya dong!!! Just kiddin’!
Bicara soal nikah, kalo gue personal sih, menikah itu penting gak penting. Penting kalo udah menyangkut urusan gono-gini. Gak penting karena gara-gara gono-gini akhirnya pernikahan itu jadi berasa penting. Makanya gue kalo memandang pernikahan hanya mau dari sudut pandang perasaan dan hati. Hati ini sudah siap gak menerima segala konsekuensi dengan apapun yang terjadi nantinya. Jadi, kalo suatu saat dari kalian ada yang mau ngajak gue nikah, tak cukup kalo cuman sekedar modal cinta… you must brave.. brave.. and BRAVE!!!
Well, so far, film All you need is love ini sangat bagus banget ditonton untuk para jomblowers yang ingin menumbuhkan semangat agar tidak gentar mencari pasangan hidup. Bukan berarti semuanya harus dipaksakan untuk berpasangan. Namun apa salahnya menyisipkan setiap apa yang akan kita hadapi di dunia ini dengan satu kata. CINTA… all you need is LOVE!!!!
The Bacots