Film ::: All You Need is Love (Schwiegertochter ist ein Mann) (2009)

•October 23, 2013 • Leave a Comment

05Pernikahan. Sebuah ritual yang disakralkan sebagai perayaan pertanda bahwa ikatan relasi antar sesama manusia diakui keabsahannya untuk saling berbagi hidup dengan penandatanganan kontrak sertifikat dari badan keagamaan dan pemerintahan secara hukum, yang artinya cinta hanya milik berdua. Sampai maut memisahkan. Atau terpisah karena seuatu sebab.

06Pertanyaannya, pentingkah sebuah pernikahan itu? Bagi Katharina (Saskia Vester) sangat penting dan menjadi kabar yang menggembirakan. Terlebih dia bakal akan punya menantu dan tentu saja bakal cucu. Dua hal yang selalu diidam-idamkan oleh seorang Ibu manapun. Pernikahan juga sebagai penanda bahwa tanggung jawab sebagai orang tua selesai sudah. Walau pada kenyataannya, setelah menikah pun , orang tua masih tidak ada capek-capeknya mengurusi lingkup bahtera hidup anak dan menantunya.

Sebagai wujud kegembiraannya, Katharina menyebarkan berita menggembirakan tentang anaknya Hans (Andreas Helgi Schmid) yang bakal pulang kampung dan merayakan pernikahan sekaligus. Ibu mana sih yang gak seneng mendengar anaknya bakal nikah. Alhasil satu RT pada tahu bahwa sebentar lagi Katharina akan punya besan dan tentu saja menantu cantik.

01Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hans dan Nicki (Manuel Witting) meluncur ke sebuah desa kecil yang menjadi tanah kelahirannya. Sebuah desa yang masih kental dengan kultur budayanya. Kalo diibaratkan di Indonesia, desa di Jerman ini masih menggunakan pakaian tradisional seperti kebaya, kain panjang dan juga blangkon. Entah apa sebutannya untuk pakaian tradisional jerman ini…

Hans berharap agar pernikahannya bisa dirayakan di desa tersebut. Bersama Nicki, Hans pulang kampung menemui Ibunya untuk membicarakan rencana pernikahannya. Masalahnya, apakah Katharina sudah siap? Apalagi dia belum tahu, bahwa Hans adalah Gay…

Dan dari situlah drama dimulai. Katharina yang shock gara-gara melihat Hans membawa pasangannya Nicki yang semula dikira cewek. Betapa terkejutnya hingga tidak bisa berkata-kata. Katharina tidak bisa menerima kondisi itu. Sehingga pengusiran spontan pun terlontar dari bibirnya. Sebagai single mother, Katharina hanya bisa menumpahkan keluh kesahnya kepada si sahabat karib, Rosi (Franziska Traub).

11Masih bertahan dengan impiannya untuk menikah, Nick dan Hans memilih mengambil penginapan tak jauh dari desa itu. Pada awalnya Nicki memilih untuk pasrah dan pulang kembali ke kota di Berlin, mengingat perlakuan Katharina kepadanya. Namun Hans tetap pada tujuannya semula.

Ternyata, kabar burung perihal Hans yang Gay sudah mulai menyeruak ke seantero desa. Akhirnya Katharina seperti kejatuhan pesawat. Telak. Menjadi gunjingan warga, karena anaknya membawa aib keluarga. Ditambah lagi mantan suaminya yang juga ikut-ikutan pusing mendengar kabar tersebut.

08Perjuangan Hans demi mendapatkan izin menikah di desa tersebut rupanya dijegal oleh KUA desa setempat. Ibarat kata, surat pengajuannya ditangguhkan, sebagai kata ganti dari penolakan. Kekecewaan demi kekecewaan telah dialami mereka berdua. Sikap sinis dan tidak bersahabat dari warga setempat membuat Nicki tidak nyaman. Namun Hans masih tetap bertahan…

Hingga sampai pada titik puncak dimana Katharina mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari segala penjuru. Mulai dari lingkungan kerjanya, di sebuah perbankan dimana dia bekerja sebagai teller bank, tak jarang dia mendapat sikap yang sebenarnya “hinaan” dari para nasabah. Dari para jemaat gereja yang tergabung dalam grup choir/paduan suara. Dan tentu saja warga desa setempat.

Sekalipun Katharina ada usaha untuk membuat dan meyakinkan bahwa Hans bisa menjadi lelaki “normal” (baca: heteroseksual) tetap saja, yang namanya seksualitas itu cair. Hanya bisa berubah mengikuti hasrat. Kalau hasratnya tidak mengisyaratkan untuk berubah, ya mau bagaimana lagi. Psikiater sehebat apapun tak akan bisa mengubahnya.

10Sempat Katharina mencari jawaban kepada seorang dokter di desa tersebut, jawabannya juga cukup rasional. Bahwa memang tidak ada yang bisa mengubah kondisi tersebut. Gay adalah bawaan sejak lahir. Hanya saja, sejak kecil mereka belum mempunyai identitas seksual yang mereka pahami. Mereka hanya bisa merasakan bahwa mereka berbeda. Hans berbeda. Hans menyukai guru olah raganya, Pak Brauner. Tidak ada sesiapapun yang memaksakan Hans untuk menyukai guru olah raganya. Hasrat seksual (ketertarikan secara seksual) nya lah yang menstimulasi otak Hans untuk mengagumi sosok yang berjenis kelamin Laki-laki itu.

Hingga suatu ketika, saat Katharina benar-benar kalut dan lelah. Jawaban atas semua yang dia pertanyakan selama ini ada pada sosok yang di sepanjang film tidak pernah Katharina sadari….

Sebuah film yang memuat banyak sekali pelajaran mengenai penerimaan atas identitas seksual seseorang. Bagaimana seorang ibu yang pada awalnya masih menganggap bahwa putra satu-satunya yang selama ini dia sayangi adalah seorang gay yang nyatanya pembawa aib, hingga dia bisa mulai menerima keberadaan dan kondisi putranya apa adanya.

12Tidak salah bila judul dalam film ini, All you need is love. Karena hanya dengan cinta lah kita bisa melihat sekacau dan seburuk apapun perbedaan itu. Dengan cinta, hal yang berlawanan bisa menjadi perbedaan yang indah. Hal yang berhaluan bisa menjadi dua kutub yang saling tarik menarik.

Namun ketika ada garis besar yang muncul di dalam film ini, haruskah ada pernikahan? Toh film ini sendiri memberi alternatif jawaban yang mungkin bisa membuat para LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) bernapas lega. Biarlah pernikahan yang bersertifikat milik para Heteronormatif. Sesungguhnya makna pernikahan sendiri, pada akhirnya hanya menjadi bagian akhir dan pelengkap dari makna sebuah hubungan atau relasi atas pondasi cinta, kasih sayang dan kesetiaan. Tanpa menikah pun sepasang anak manusia bisa hidup bersama selama-lamanya. Sudah ada banyak contoh kasus untuk hal itu.

Ada satu scene dimana saat Katharina berada di dalam sebuah pub yang berisi mayoritas Lesbian. Dia dihampiri salah satu pengunjung pub dan mengajaknya untuk berdansa. Namun Katharina dengan halus menolaknya karena dia merasa tidak seperti perempuan-perempuan yang berada di dalam pub tersebut. Namun dengan santai si pengunjung pub tadi berkata, “ saya tidak menanyakan kamu apa atau siapa, saya hanya bertanya apakah kamu mau berdansa dengan saya…” dan dengan tersipu malu, Katharina menerima ajakan teman barunya itu. Bisa gue ambil kesimpulan, bahwa dialog tersebut dalam sekali maknanya. Bahwa, seorang Gay atau Lesbian yang mengajak seseorang untuk berdansa, makan bersama dan kegiatan yang lain, tidak harus serta merta dikait-kaitkan dengan urusan orientasi seksual. Karena pada kenyataannya, Lesbian dan Gay adalah bentuk-bentuk dari orientasi homoseksual yang setara dengan heteroseksual. Sama-sama pecahan dari keragaman Orientasi seksual.

03Jadi, kalau ada paham yang menyebutkan bahwa gay menular, sama saja seperti membuat stigma sendiri, bahwa heteroseksual juga menular. Malah stigma menular lebih pas digunakan untuk kaum heteroseksual ketimbang homoseksual. Karena diperkuat dengan faktor penerus keturunan. Tentu saja secara biologis, pasangan homoseksual stagnan dalam masalah generasi penerusnya. Kalau kata Ellen DeGeneres, toh yang ngelahirin homoseksual kan heteroseksual, ya salahkan heteroseksualnya dong!!! Just kiddin’!

Bicara soal nikah, kalo gue personal sih, menikah itu penting gak penting. Penting kalo udah menyangkut urusan gono-gini. Gak penting karena gara-gara gono-gini akhirnya pernikahan itu jadi berasa penting. Makanya gue kalo memandang pernikahan hanya mau dari sudut pandang perasaan dan hati. Hati ini sudah siap gak menerima segala konsekuensi dengan apapun yang terjadi nantinya. Jadi, kalo suatu saat dari kalian ada yang mau ngajak gue nikah, tak cukup kalo cuman sekedar modal cinta… you must brave.. brave.. and BRAVE!!!

Well, so far, film All you need is love ini sangat bagus banget ditonton untuk para jomblowers yang ingin menumbuhkan semangat agar tidak gentar mencari pasangan hidup. Bukan berarti semuanya harus dipaksakan untuk berpasangan. Namun apa salahnya menyisipkan setiap apa yang akan kita hadapi di dunia ini dengan satu kata. CINTA… all you need is LOVE!!!!

 

Film ::: Gravity (2013)

•October 9, 2013 • 2 Comments

Gila aja, entah gue musti mulai dari mana…

01You know what? Sehabis gue masang status di BB, yang bilang bahwa film Gravity awesome… mendadak banyak komentar yang rada-rada nyakitin kuping. Padahal gue bukan filmakernya, cuman kenapa bisa sakit ati ya.. well!!!

Ya begitu lah gue. Kadang bisa sakit ati se-ati-atinya bila denger ato baca komentar-komentar yang menyudutkan sebuah film yang menurut gue layak untuk disukai (oleh gue tentunya). Konteks bagus dan tidak bagus (jelek) kayaknya terlalu nista untuk disandangkan ke sebuah film. Bukannya membela, tapi please dong! Lihat kebelakang sebentar, bikin film gak gampang (walo ada juga sih orang-orang yang menggampangkan bikin film). Mereka ini adalah orang-orang yang membuat film dengan passion. Dengan hati. Tentunya juga dengan “uang”.

Huft! Beneran, bikin film itu gak gampang. Banyak step-step yang musti dilalui. Apalagi di bagian “cerita”. Penggodokan naskah yang pastinya diobrak-abrik dengan mempertimbangkan banyak hal. Dari sisi idealis, komersil hingga estetika film itu sendiri. Mungkin itulah, tak jarang di Hollywood sering kali sang sutradara merangkap producer demi mempertahankan keutuhan cerita yang bakal difilmkannya. Selain ngumpulin duit juga sih…

Back to Gravity…

10Sandra Bullock kali ini bukan sebagai polisi yang nyamar jadi peserta miss-missan, dan juga bukan sebagai Ibu-ibu yang tough (yang akhirnya membawa dia pada piala oscar di filmnya, The Blind Side (2009)). Dia adalah medical astronot yang sedang bertugas di satelit luar angkasa. Dengan didampingi Matt Kowalski (George Clooney), Ryan Stone (Sandra Bullock) memperbaiki beberapa komponen satelit yang rusak.

Dan permasalahan timbul saat ada rongsokan satelit lain yang melintas dan menghantam satelit yang sedang diperbaiki Ryan dkk. Tak ayal kehancuran menimpa mereka. Menyeramkan deh pokoknya…

Selesai film, gue hanya bisa geleng-geleng kepala, standing ovation dalam hati… dan memeluk Sandra Bullock, George Clooney serta Alfonso Cuaron. Kemudian berucap, “makasih yaa! Kalian emang the best”. Dan gue membuka mata, iringan scoring credit title ,masih berat untuk ditinggalin begitu saja. Terngiang hingga radius 1 km dari tempat nonton berada.

11Gak nyalahin mereka yang bilang film ini jelek. Cuman dalam hati hanya bisa bilang,”selera film mereka payah!” Sandra Bullock kembali lagi bermain manis di film yang hampir semua settingnya mengambil lokasi angkasa ruang hampa udara. Dengan pemandangan bumi yang terlihat megah, terlihat sekali betapa Sandra Bullock menjadi orang yang paling beruntung dan juga sekaligus tidak beruntung. Beruntung karena bisa menyaksikan indahnya bumi dari luar angkasa, tidak beruntungnya, sewaktu-waktu nyawa-nya bisa menjadi taruhan dalam hidup. Namun sekali lagi, pengalaman Ryan tidak dimiliki oleh sebagian besar seluruh penduduk bumi. Hanya segelintir orang yang punya kesempatan ke luar angkasa seperti Ryan.

Banyak yang bilang film Gravity, film yang membosankan (Indonesian viewers), itu yang sangat bikin gue heran. Bosan dari mananya coba? Sumpah statement itu yang dari sampe sekarang masih bikin gue gak bisa terima. Ujung-ujungnya gue hanya bisa mengelus dada… namanya juga SELERA orang, pastinya beda-beda.

Satu kata untuk film Gravity….. AWESOME ….. (titik)

GRAVITYTak ada opening credit yang muncul, cuman judul film di awal-awal…. dan bla-bla-blaa…. Icon warner bros-nya juga Hieetss!!! terus ada salah satu quote dari Matt Kowalsky – “I know I’m devastatingly good looking but you gotta stop staring at me.”

Ada yang bilang Gravity adalah film astronot yang cuman jalan-jalan di angkasa, ada yang bilang film jelek, ada yang bilang filmnya gak ada greget, ada juga yang bilang filmnya aneh dan masih banyak lagi yang lain. Saat gue tau background mereka yang ngasih koment ternyata… begitu, ya udah, maklum juga akhirnya…

Secara film Gravity bagi gue adalah maha karya, setelah Avatar (2009). Mungkin banyak penonton awam yang tidak sadar, bahwa mulai menit pertama, film diambil dengan teknik long tracking shoot dan bagi gue udah pembuktian kalo film ini amaze banget…

08

05

04

07

02

Ini bukan review sih…. ini semua hanyalah bentuk kekaguman gue atas hasil yang telah dicapai oleh Alfonso Quaron, sang sutradara. FYI, film ini sangat bermanfaat banget bagi gue yang suka dengan tema luar angkasa, tapi phobia terhadap ketinggian… lumayan horror bagi gue…. but actually i love it…

Thanks and Goodluck!

IMG-20131008-04448

Film ::: Insidious Chapter 2 (2013)

•September 26, 2013 • 2 Comments

Jeda gue nonton Film arahan James Wan bisa dibilang gak jauh-jauh amat. Terakhir gue nonton The Conjuring (2013) menjelang lebaran kemaren dan semalam gue nonton Insidious: Chapter 2. Well, gue pikir coraknya bakal sama, ternyata walopun ada “sedikit” kesamaan, tetapi pada intinya sangat beda jauh. Jadi akhirnya gue bisa bernapas lega. Semakin gue cinta dengan sutradara keturunan Malaysia ini.

Chapter 2. Otomatis ada Chapter pertama. Dan kebetulan dan memang kesengajaan, gue udah ngikutin Insidious dari yang pertama. Awal dari munculnya teror hantu “perempuan” berkerudung hitam. dari segi penceritaan, gue pikir awalnya ini film sama dengan film-film horor yang lain. Ternyata beda. menggunakan konsep perjalanan “astral” yang mampu menggiring gue untuk bisa berpikir logis dan membenarkan apa yang ada dalam cerita di film tersebut. Pengalaman melakukan perjalanan “astral” terkadang sering gue alami. Walo masih dalam tahap “uncontrol”. Gue masih belum mampu dengan kesengajaan untuk melakukan “perjalanan” tersebut. Biasanya hanya faktor unpredictable.

07Kembali ke Insidious, Melanjutkan dari kisah pertama, Di mana keluarga Lambert akhirnya pindah dari rumah yang lama untuk melanjutkan babak kehidupan yang baru. Selang beberapa hari setelah kematian Elise Rainier (Liz Shaye), cenayang yang berusaha membantu keluarga Lambert untuk melakukan pertolongan kepada Dalton (Ty Simpkins), yang terjebak di dunia astral. Dari kemampuannya, dia menjembatani Josh Lambert (Patrick Wilson), untuk mencari Dalton. Dan di ending film, diperlihatkan Josh berhasil membawa Dalton kembali ke dimensi yang semestinya. Namun apa yang terjadi dengan Josh? disinilah benang merah itu akhirnya yang menjadi tautan antara Insidious pertama dengan yang kedua.

05Renai Lambert (Rose Byrne) masih terguncang. peristiwa demi peristiwa beruntun menimpanya. Apalagi kejadian yang dia alami juga berhubungan dengan kematian seseorang, yaitu Elise. Tak ayal melibatkan pihak kepolisian. Hanya saja, konflik cliche yang terjadi, polisi tak kan pernah percaya dengan alasan bahwa yang membunuh Elise adalah Spirit. Terlepas dari bukti-bukti polisi yang masih menuduhkan bahwa tersangka dari terbunuhnya Elise adalah Josh Lambert.

Dan benar saja, Teror hantu gentayangan pun berlanjut. Jadi sudah jelas, bahwa bukan faktor rumah yang berhantu, tetapi memang ada jiwa-jiwa tersesat yang “mengikuti” kemanapun keluarga Lambert berada.

Pergerakan-pergerakan benda-benda. Bunyi-bunyian hingga penampakan mulai menjadikan Renai  resah. Galau dan depresi. Hingga sampai dia mendapat gangguan fatalistik yang “ditampar” hantu perempuan berbaju putih.

08Melanjutkan dari seri yang pertama, Specs (Leigh Whannell) dan Tucker (Angus Sampson) masih setia mencari teka-teki dalam misteri yang mereka hadapi. Dengan kekonyolan ala-ala warkop, mereka pun akhirnya kembali membantu keluarga Lambert setelah Lorraine Lambert, Ibu dari Josh meminta bantuan, karena kasus yang menimpa keluarganya masih ada hubungan dengan Elise.

Bisa di bilang, standar horor buatan James Wan menyamai M. Night Shyamalan (dulu). Namun dia muncul dengan membawa genre horor yang lebih eksplisit. Lebih sering menggunakan faktor psikologi manusia sebagai sumber ketakutan terbesar (ngomong apaan sih gue, berasa kritikus handal).

Ketika credit title muncul, mengingatkan gue sama film-film horor jadul semacam OMEN. instrument biola dengan gesekan string nada tinggi yang memekakkan telinga. Iringan musik “serem” ini juga yang menghiasi sepanjang film Conjuring tempo lalu. Ya, kayaknya James Wan ingin membawa suasana “lawas” ke gaya film horrornya.

Well, ansamble cast yang lagi-lagi patut gue acungin jempol. Gak ada yang jelek. semuanya pas. Ekspresi Rose byrne di film ini sangat patut dikasihani. Menjadi Istri yang bimbang, galau dan depresi. Faktor keibuan yang sangat kental.

Lepas dari semua faktor yang ada di film ini.

Gue sangat suka dengan penambahan plot cerita yang menyuguhkan adanya, subtema bahwa Gak semua orang tua itu bener. suatu ketika diceritakan bahwa, asal muasal hantu yang menjadi sentral di film ini adalah berkisah tentang anak kecil yang bernama Parker Crane. Hadirnya dia di dunia dipermasalahkan oleh ibunya sendiri. Ternyata dari awal, sang ibu sangat ingin mempunyai anak perempuan. Sementara Parker Crane sendiri merasa bahwa dirinya adalah anak cowok. Ya seharusnya memang tidak bisa dipaksakan, bahwa jender seseorang itu harus berdasarkan rasa kenyamanan dan siapa yang menjalaninya.

Saking pinginnya punya anak cewek, Ibunya Parker memaksa Parker mengenakan rok dan menggunakan wig. dan segala hal yang sesuai dengan keinginannya. Termasuk mengganti nama Parker dengan nama yang dikehendaki Ibunya (gue lupa namanya). Dan tak ayal kekerasan fisik pun dilampiaskan Ibu Parker bila Parker menolaknya. Dan dari situlah Drama horor berkisah. Sehingga kaitan dendam kesumat yang menimpa masa lalunya dengan intimidasi dari seorang ibu menjadikan Parker Crane seorang psikopat yang sadis.

Well, dari sini gue bisa menarik garis lurus, bahwa memang benar saja, sesuatu hal yang sifatnya dipaksakan, hasil akhirnya pasti tidak akan pernah “sempurna”. Ketika Parker Crane dipaksa menjadi seorang cewek, dalam hatinya sangat menolak keras, namun demi keselamatan diri dia menuruti keinginan ibunya. Namun apa yang terjadi, bukannya menjadi sesuai dengan apa yang diinginkan, malah yang terjadi adalah horor.

Sekarang coba bayangkan, semisal Parker Crane adalah terlahir dengan kondisi biologis seorang cewek. namun dalam segi orientasi seksualnya, dia merasa punya ketertarikan dengan “female”. Kondisinya pasti akan sama dengan apa yang dialami Parker Crane dalam film ini. Seksualitas apapun itu bentuknya tidak bisa dipaksakan. Karena yang bisa merasakan siapakah diri kita yang sebenarnya ini adalah kita sendiri. Bukan orang lain. Bukan dokter. Bukan profesor. Mereka hanya punya hak untuk mengukuhkan saja. Tell the truth bahwa identitas atas kelamin, jender, seksualitas adalah hak individu yang harus dihormati dan dihargai. Bukan diinjak-injak, karena mentang-mentang sebagai orang tua, sebagai orang yang merasa benar dan sebagai orang yang merasa mendapat pencerahan dari Tuhan yang belum tentu (benar).

Kembali ke Chapter 2, Akhirnya ada pesan moral yang gue tangkep di film ini, entah itu sengaja memang diungkap di film ini, atau memang mereka membuyarkan isu yang sebenarnya “penting” dan sedang maraknya di belahan dunia manapun.

Jujur, gue sangat berterima kasih banget sama James Wan karena sudah bersusah payah membuat film horor ini menjadi begitu penuh warna. Kabarnya akan ada lagi sequelnya. Chapter 3. Entah kapan, kita tunggu saja. Apakah masih bisa menyamai kesuksesan film yang pertama dan keduanya.

Banyak yang bilang, Insidious: Chapter 2 gak serem. Karena ada komedinya. Bagi gue sih, justru inilah hebatnya James Wan. Gue yakin, kalo di film ini tidak ada komedinya, orang-orang pasti akan dengan tegas menghujat dia… MENGAPA MEMBIKIN FILM CONJURING DUA KALI??? Jadi bagi gue, itulah alasan kenapa ada unsur komedi di film horror ini!

Gue bisa ngasih 4 bintang diantara 5 bintang. I love the twist!!!

Selamat menonton….!!!! (Jangan menonton sendirian)

Film ::: Wanita Tetap Wanita (2013)

•September 13, 2013 • Leave a Comment

God gave women intuition and femininity. Used properly, the combination easily jumbles the brain of any man I’ve ever met.

Farrah Fawcett

Petikan quotes di atas menjadi pembuka dari film “Wanita Tetap Wanita”. Sebuah film keroyokan dari 4 sutradara pria, Irwansyah, Didi Riyadi, Reza Rahadian dan Teuku Wisnu.

IMG-20130912-04329Wanita Tetap Wanita bercerita tentang kekuatan perempuan menghadapi segala konflik yang ada di sekitar kita. Banyak orang menganggap perempuan lemah dan hanya menggantungkan hidup pada Lelaki. Tapi, tidak banyak yang menyadari betapa hebatnya perempuan.

Di atas bahu kecilnya, bahkan perempuan sanggup menanggung beban dunia. Di kedua mata sendunya, perempuan menyimpan jutaan cerita yang ingin dibagi kepada dunia. Di kedua tangannya, dunia akan direngkuh dalam damai penuh cinta dan harapan. Tidak ada yang tidak mungkin dilakukan perempuan, karena perempuan memiliki otak, akal, mata, dan jiwa yang kuat, namun dengan hati yang lembut penuh kasih.

Petikan sinopsis diatas sengaja gue copas dari Wikipedia karena gue tidak mau ribet persoal cerita yang bakal disampaikan di film yang berdurasi kurang lebih 90 menit ini. Mencoba menampilkan penampilan epic dari clan Sungkar. Dan juga orang-orang terdekat mereka. Itu sah-sah saja. Apalagi film ini adalah untuk pertama kalinya seorang Irwansyah yang notabene seorang aktor menjajal kemampuannya di dunia film sebagai seorang Produser. Termasuk Sutradara juga.

Melihat jajaran nama Produser, gue langsung teringat dengan kasus penangkapan Raffi Ahmad di rumahnya terkait “pesta narkoba”. Saat terjadi peggeledahan, Irwansyah dan istrinya, Zaskia gothic ada di situ, bisa jadi kedatangan mereka berdua ke rumah Raffi adalah memang untuk membicarakan film ini. Wow! (analisis gak penting)

Irwansyah, Shireen Sungkar, Zaskia Sungkar, Teuku Wisnu, Mark Sungkar and the eks, dan beberapa sutradara yang merangkap cast, Fahrani, Revalina Temat, Renata Kusmanto, Didi Riyadi dll. Melihat mereka di layar lebar, berasa seperti menonton sinetron yang epic banget.

Apalagi melihat penampilan “absurd”nya Zaskia yang sengaja menjadi poros dari semua plot cerita yang ada. Mendadak warung cupcake-nya yang sangat-sangat instans dan gak butuh waktu lama buat nge-hits menjadi jujukan semua tokoh utama perempuan yang ada di film ini.

Entahlah, ini pinter-pinternya mas Andhy pulung yang ngedit filmnya, atau justru sebenarnya ini adalah satu kesatuan film yang dipecah menjadi 5 plot cerita. Seperti halnya film Berbagi Suami (2006), Dimana 3 sub plot cerita yang berporos di Warung Nasi Goreng-nya om Tio Pakusadewo.

01Ada Kikan (Shireen) yang diajak ngedate oleh Iko (Irwansyah) ke toko cupcakes paling enak sedunia akhirat, Kemudian ada Adith (Renata) yang seorang penulis novel, memilih toko cupcakes Shana (Zaskia) sebagai tempat menulis, tentunya diperbedakan dengan menggunakan dialog, CAPUCHINO…..! dari dialog cast yang lain. Ada lagi Vanya (Fahrani) yang berkepentingan untuk membeli cupcakes karena adiknya, Lola sangat menyukai cupcakes bikinan Zaskia. Dan Nurma (Revalina) yang sengaja membeli hadiah ulang tahun (diduga kadonya adalah cupcakes) untuk putri, anak dari Andy (Teuku Wisnu) atasan kantornya, mantan guru les privat Nurma, yang dia puja-puja. Tentunya si Shana sendiri yang memang berusaha menggeluti dunia cupcakes gara-gara pengen move on dari tragedi ditinggal kabur tunangannya.

Jujur! tak ada dialog ajib di film ini. Hanya kumpulan-kumpulan petuah tentang cinta yang malah mempersulit pemahaman atas cinta itu sendiri.

03Menyesalkan kemampuan akting Fahrani, disini dia didoktrin untuk jadi pemain sinetron. Termasuk juga mbak Dewi Irawan, perannya di film ini sebenarnya bisa diisi oleh siapa saja. Yah begitulah. cerita di film ini menggunakan karakteristik tokoh yang cirinya tidak ada yang “menarik”. Dalam artian, semuanya mempunyai porsi yang biasa. Untuk anak yang Autis pun tidak ada gregetnya. Paling, bagi gue, akting yang mencuri perhatian hanyalah si Ibu Sri, korban KDRT yang menjadi terdakwah pembunuhan. Scene ketika dia bercerita di hadapan Andy dan yang lainnya hanya bengong sambil mencatat kata demi kata yang terucap dari mulut bu Sri.

Di mana ada scene Shireen, di situ gue males nonton. Apalagi pas ada scene, Kikan nanya ke dokter perihal kondisi Ibunya, dengan gestur yang absurd, sang dokter berakting layaknya sedang berakting menjadi dokter yang sedang berakting menjadi dokter (gak usah bingung, memang begitu gue nulisnya).

Intinya menonton film Wanita tetap Wanita ini seperti menonton sebuah Maha Sinetron. Harusnya ada tulisan Tribute to Sinetron Indonesia.

Gue kira mereka sudah belajar dari pendahulunya, Perempuan Punya Cerita (2007), Bagaimana kisah seorang Perempuan bisa bertutur dengan indah. Tanpa bermaksud membanding-bandingkan, hanya saja mengulang sebuah ide (ologi) yang hasilnya malah “payah” menjadi catatan tersendiri bagi produser-produser pemula untuk lebih peka dalam mengangkat cerita.

Bagi gue, film ini sedikit tertolong oleh Soundtracknya, Biarkan Cinta – Maharasyi. Suaranya yang powerfull banget, sangat berpengaruh kuat dalam mengangkat image perempuan yang “kuat dan tangguh”.

Miris ajah apabila ada lagunya The Sister yang lancang berkicau di salah satu adegannya Shana… Kamu..kamu..kamu…lagiiii!!! Hadeh! Coba Shireen dan Fahrani bertukar peran. Mungkin film ini bakal akan menjadi lebih “berwarna”

Dan pada akhirnya, jangan ada lagi film dengan tema sinetron lagi di Indonesia. Biarlah Sinetron tetap pada tempatnya, yaitu TV. Memindahkan sinetron dari media televisi ke layar lebar adalah dosa besar bagi dunia perfilman Indonesia. 

Btw, sepanjang film, gue tidak tergiur sama sekali dengan cupcakes bikinan Shana. Padahal saat gue nonton film Brownies (2004) dan Madre (2013) pengen banget gue nyoba… Kayaknya si Zaskia memang kudu move on (baca: keluar) dari dunia per-akting-an deeh, biar dia belajar bikin kue dulu!!!

Udah ah, ntar gara-gara tulisan ini, mulut gue disumpel sama cupcakes bikinan Shana….

02Buat yang nge-fans sama Teuku Wisnu, ada baiknya sih menonton film ini… He’s look charming! 

Oia, simbolisasi di film ini udah basi… jadi berasa gak ada efek ajah ketika sadar kenapa musti ada adegan Sholat dan Salib. Kayaknya ada simbolisasi yang lebih keren dari itu….

Udah!! udaah ah!!! Selamat menonton bagi yang punya waktu buat nonton! 

Maju terus Perfilman Indonesia!!!

IMG-20130912-04328Sumber: Wikipedia

Film ::: Bear Cub/Cachorro (2004)

•August 28, 2013 • Leave a Comment

05Sampai saat ini, gue masih belum nemu, titik benar salah itu letak perbedaannya dimana. Keduanya terkadang bertukar posisi. Benar jadi salah, salah jadi benar. Pada akhirnya kembali pada porsi yang biasanya disebut “relatif.”

Begitu halnya para homoseksual yang terkadang berada di posisi minoritas yang terpaksa terlihat salah di kalangan heteroseksual—selaku golongan mayoritas. Sehingga dari kondisi tersebut, secara stigma disimpulkan yang paling banyak secara kuantitas, itulah yang paling benar. Dan bisa jadi kalau menggunakan pola perumusan seperti itu, maka posisi homoseksual pada nyatanya akan menjadi “benar” bila dalam lingkup kecil, suatu kelompok kecil yang terdiri dari hampir mayoritas homoseksual dengan heteroseksual yang minor. Jadi penilaian benar salah berdasarkan kuantitas mayor-minor seharusnya tidak layak lagi untuk digunakan.

Begitu pula dengan yang terjadi di film Cachorro (Bear Cub). Sebuah film drama yang menampilkan sosok homoseksual (gay) sebagai tokoh sentralnya. Apapun akan terlihat benar. Karena gue tidak melihat adanya mayoritas dan minoritas di film ini. Malah kalau tidak mau diperdebatkan, sejujurnya film ini lebih bermain pada salah satu jenis sex role gay type yang biasa disebut “golongan BEAR/HAIRY”

Kenapa disebut Bear? Ya semua gay tau, spesifikasi berbadan gempal. Lebih dari porsi tubuh yang “biasanya” (nih, dari sinilah akibatnya pengkondisian orang yang berbadan besar menjadi suatu “kesalahan” karena yang benar adalah mereka yang berpostur tidak besar dalam jumlah yang lebih dari standar, sehingga kondisi yang paling ideal untuk ukuran manusia adalah TIDAK GEMUK).

Dan ternyata, dari semua jenis pengkategorian, mulai dari yang Bear, ada pula kategori Skinny, Slim (kurus). Pada akhirnya ini mulai jatuh-jatuhnya ke urusan kesukaan. Ada yang suka gara-gara gemuknya, gara-gara bulunya, gara-gara kurusnya, bahkan ada pula sampai diluar bentuk tubuh, semisal kesukaan karena berseragam, karena memakai kostum kulit atau lateks/vinteks, bahkan kesukaan karena suka di “siksa” (sadomasochism).

Well, Cachorro lebih fokus ke Bear. Seorang dokter yang sudah coming out ke saudara dan orang-orang yang dikenalnya. Salah satunya, kepada keponakan dia, Bernardo (David Castillo). Tinggal seorang diri di sebuah apartemen sudah biasa bagi seorang Pedro (Jose Luis Garcia-Perez). Tterlebih dia memiliki banyak teman. Termasuk fuck body. Ideologi yang dibawa Pedro, tidak ada pasangan sejati. Saling memiliki akan menjadi sangat bumerang bagi kehidupannya. Itu yang selama ini dia pelajari dari pengalamannya.

02Dan suatu ketika, kakak perempuannya, Violeta (Elvira Lindo) datang bersama anaknya Bernardo. Dia bermaksud untuk menitipkan Bernardo ke Pedro. Awalnya Pedro keberatan, terlepas dengan ke-gay-annya. Pedro menghawatirkan teman-teman pedro yang punya kebiasaan main ke apartemennya dengan kebiasaan yang macam-macam.

Namun Violeta tidak peduli. Secara, Bernardo sudah dicekoki dengan pemahaman gay. Bahkan menurut pengakuan Violeta, dia malah berharap agar Bernardo menjadi seorang Gay. Violeta merasa, bahwa naluri-nya sebagai seorang ibu merasa yakin, bahwa anaknya, bernardo akan menjadi gay yang manis seperti pamannya.

Violeta bermaksud ke India dengan kekasih barunya. Ada impian yang harus dicapai. Dia berjanji, secepatnya akan menemui anak dan adiknya kembali.

Ternyata, setelah keberangkatan Violeta ke India, Ibu mertua Violeta, Teresa berkeinginan untuk mengambil hak asuh Bernardo. Dia merasa, bahwa dia punya hak untuk merawat Bernardo. Dia melihat bahwa Violeta telah menyia-nyiakan keberadaan Bernardo, hingga dititipkan ke pamannya, Pedro.

Bear Cub (Cachorro)Namun kasih sayang Pedro kepada kakaknya tidak membuat hatinya luluh pada kemauan Teresa. Sehingga sikap Pedro membuat Teresa merasa kesulitan untuk merebut Bernardo. Dan alhasil, berbagai cara dilakukan Teresa untuk mendapatkan hak asuh Bernardo.

Well, konflik pada film ini akhirnya punya sub plot yang masing-masing saling berkaitan. Mulai dari konflik Pedro dengan bernardo, Pedro dengan Teresa, Pedro dengan asmaranya, Pedro dengan HIV-nya dan Pedro dengan kebahagiaannya.

Sebuah ide cerita yang mungkin diambil dari model kehidupan seorang bear sukses dan ternyata dibalik kesuksesannya sebagai dokter, ternyata mempunyai masalah pelik. Seperti kenyataan, apa jadinya ketika seorang dokter ternyata mengidap HIV. Walau bukan sesuatu hal yang menakutkan bagi Pedro (secara Pedro sudah sadar dan paham betul bagaimana memperlakukan HIV).

04Menjadi bagian dari komunitas Bear. Persahabatan yang kental memang bisa ditemukan di pertemanan para gay, dimanapun. Tidak hanya di spanyol. Di manapun. Disinilah sebenernya makna sebuah keluarga yang sebenarnya. Karena semua pada nasib dan kondisi yang sama.

Terkadang, setiap manusia memang butuh saat-saat untuk menjadi terpuruk. Karena itu supaya manusia bisa merasakan bagaimana rasanya bangkit dari keterpurukan itu sendiri.

01Secara garis besar, film ini sangat begitu kuat dalam penceritaannya. Penokohan yang mendalam dari masing-masing karakter, menjadikan film ini sangat mengena. Terkadang tanpa disadari, ketika nonton film ini pada salah satu scene seakan akan berucap, “ini gue banget!”

Penulis ceritanya tahu betul seluk beluk kehidupan gay. Walau dalam pengertiannya, tidak dimaksudkan untuk merusak citra gay itu sendiri. Hanya saja, gay terlihat seperti demikian (di dalam filmnya) ya karena akibat dari sebab. Masih tidak bisa diterimanya keberadaan gay di lingkungan sekitar.

Adanya pengkotak-kotakan ruang, yang akhirnya para gay menciptakan ruang kotak sendiri. Itulah kesan yang akhirnya malah jadi salah kaprah, seolah-olah gay punya kelas sendiri. Padahal kenyataannya, gay dan manusia lainnya sama-sama sederajat. Tidak ada perbedaan. Ini semua hanya masalah orientasi seksual yang “memang” tidak bisa dipaksakan sama. Tuhan juga tahu itu!

06Akhirnya ada satu kesimpulan. Apapun orientasinya, yang salah adalah bagaimana kita melihat dunia dari satu sisi saja. Ada 7 miliar pasang mata yang semuanya punya sudut pandang hidup yang berbeda. Ingat itu! Kita tidak sendiri hidup di dunia!!!

 

 

Mudik Vs. Kapan Kawin

•August 7, 2013 • Leave a Comment

Sudah menginjak musim pulkam alias pulang kampung a.k.a Mudik. Beruntung tahun ini, guebisa untuk menyempatkan mudik. Tak terkecuali teman-teman lainnya yang masih mempunyai kampung halaman dan sanak handai taulan.

kartun-mudikTidak ada hukum yang mewajibkan seseorang untuk pulang kampung. Hanya saja ritual ini muncul ketika berbarengan dengan perayaan Lebaran umat Islam yang diyakini sebagai ajang untuk temu kangen dengan keluarga di kampung sekaligus “menghapus kesalahan” . mengingat mayoritas penduduk Indonesia yang muslim masih “semangat” dengan selebrasi tahunan yang tanggal pelaksanaannya terkadang selalu membuat “gerah” umat-umat yang bersangkutan.  Walau begitu, tak jadi hambatan untuk mudik.

Seolah-olah mudik menjadi sesuatu yang wajib dan sangat diharuskan. Tengok saja toko pegadaian. Minggu-minggu menjelang hari H (baca: lebaran), pasti akan ramai dipenuhi dengan orang-orang yang rela menggadaikan barang berharganya untuk hanya sekedar bisa mudik.

Mulai dari perhiasan emasnya, hingga STNK motor dan atau apapun yang masih punya nilai dan layak digadaikan. Semua bisa saja terjadi demi yang namanya mudik ini.

Apapun dilakukan atas nama bisa mudik. Seakan-akan bila tidak mudik, nama baiknya menjadi taruhan. Well, dari pengamatan saya sendiri beberapa hari terakhir, sedikit mengumpulkan informasi dari teman-teman yang mudik. Tentang hal apa yang menjadi alasan untuk mudik dan kenapa mereka mau melakukannya.

Sebagian besar mereka mudik dengan alasan utama ingin kumpul bareng keluarga merayakan lebaran. Kesempatan setahun sekali. Kapan lagi bisa pulang kampung kalo bukan pas momen lebaran. Punya waktu buat kumpul keluarga ya pas lebaran ini.

Berbagai alasan atas nama keluarga menjadi alasan utama yang dijadikan penyemangat mereka untuk bisa mudik. Namun uniknya, dan bisa dibilang tragis, terkadang ritual mudik menjadi momok mengerikan bagi mereka-mereka pejuang tangguh yang masih bersertifikat SINGLE alias LAJANG.

LOVE KAWIN87ENEBagi mereka yang sudah berkeluarga, mudik memang bisa jadi sebuah keharusan. Karena bagaimanapun juga ada bagian dari hidup mereka yang selayaknya harus ditemui. Untuk melepas kangen dan rasa rindu. Namun hal itu seperti tidak berlaku bagi seorang lajang.

Keharusan mudik tak lain dan tak bukan bagi seorang lajang adalah agar mereka bisa mengkoleksi pertanyaan KAPAN KAWIN?

Dua kata diatas adalah perpaduan kalimat yang singkat tapi menyakitkan. Bagi sebagian lajang yang terpaksa mudik terutama.

 

1. Lajang urban brodong (muda)

Untuk kategori lajang ini. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mau mudik mau gak mudik tidak jadi soal. Karena dua pilihan tadi tidak terlalu berpengaruh pada kredibililitas sang lajang. Usia yang masih di bawah 25 tahun kebanyakan masih leluasa untuk membuat alasan-alasan renyah yang bisa mendamaikan penanya “kapan kawin”. Karena umumnya mereka yang mendapatkan pertanyaan itu bisa dipastikan jawabannya adalah, “belum mapan”, “ingin sukses dulu”, “masih belum pede” dan lain-lain. Dan tidak bisa dipungkiri, jawaban-jawaban diatas memang terdengar seperti membanggakan, tapi konon itu bisa menjadi bumerang. Walau memang berdampak positif.

Dan akhirnya sang penanya bersabar untuk menunggu sang lajang mencapai tangga MAPAN. Kapankah itu? Tentu saja Lebaran tahun depan. Gubrak! So bersiap-siaplah dan bekerja keras demi merealisasikan kemapanan itu. Bagi sang penanya yang kepo banget, sukses itu bisa diraih dalam semalam. Jadi setahun saja sudah cukup untuk bisa mapan.

Jadi untuk mudik tahun depan, tak ayal dibikin list alasan-alasan darurat bila sewaktu-waktu para lajang belum pede untuk bilang sudah mapan.

 

2. Lajang urban bangkotan (tua)

Celakalah untuk lajang yang masuk dalam kategori ini. Dan yang lebih celaka lagi bagi mereka yang sudah mapan. Bahkan sampai sudah punya rumah segala di tanah rantaunya. Mudik menjadi sebuah momok mengerikan. Tidak mudik pasti bakal dicap tidak berbakti sama orang tua, lupa daratan, TAKUT DITANYAI KAPAN KAWIN, ada pula yang TAKUT DIJODOHKAN sama tetangga/ teman masa kecil, pokoknya alasan-alasan yang membuat sulit untuk bernapas.

Sementara kalau mudik ya yang pasti bakal dan pasti banget akan mengalami ketakutan-ketakutan diatas. Padahal ketika para lajang terlanjur cinta dengan karir, jodoh/asmara itu menjadi nomor yang kesekian. (kadang saya sendiri gak yakin dengan pendapat itu, jodoh tetap nomor satu, hanya ketidak beruntungan jodoh yang selalu gak berjodoh dengan dirinya).

Sehingga tidak ada alasan khusus yang bisa menguatkan alibinya mengapa tidak kawin-kawin. Ada sebab dan musabab kenapa hal itu menjadi pilihan hidup (atau terpaksa?).

Pertama, bisa jadi ya karena memang tidak berniat mencari pasangan hidup. Sehingga tidak merasa perlu untuk berpasangan. Kemudian ada lagi faktor, sudah bisa mandiri. Dan merasa bahwa tanpa pasangan pun bisa survive bahkan bisa menghidupi keluarganya d kampung. Yang ketiga, ada faktor trauma. Ketika seseorang sudah memutuskan untuk tidak berhubungan karena masih luka akibat memori masa lalu, apalagi hal itu terjadi berulang-ulang, sehingga akibatnya membuat “pagar kebencian” bahwa tanpa berpasangan pun, hidup pun bisa berjalan.

Sehingga banyak sekali lajang di usia ini yang menganggap bahwa berpasangan adalah pemodelan hidup yang tidak jauh artinya sama menyiksa diri sendiri.

 

3. Lajang urban LGBT

Untuk kategori ini, memang yang sangat kompleks. Karena lajang yang ini eksistensinya masih harus disamarkan (bagi yang belum coming out)

Urban Lesbian, Gay, Biseks dan Transjender/Transseksual (LGBT) yang statusnya kebanyakan statusnya masih dirahasiakan ini adalah yang paling tragis diantara dua kategori diatas yang menimpa lajang-lajang heteroseksual. Mungkin para lajang di point satu dan dua, ada “titik aman” dimana nanti pasti akan muncul moment “suatu ketika” mereka bakal kawin. Walau itu masih statusnya entah kapan. Tetapi tetap saja hal itu tidak bisa disamakan dengan ketika—contohnya gay yang mengucapkan itu. Terlebih gay yang sudah berdamai dengan dirinya. Destinasi hidup yang hanya bakal kawin “hanya” dengan pasangan sejenisnya menjadi satu-satunya alasan kenapa dia tidak mau mengawini perempuan. Karena bagi dia sudah sangat jelas, orientasi seksual-nya memang disetting untuk sesama jenis.

Akan terasa seperti membohongi hati nurani perempuan, ketika dia berniat menikahi perempuan. Walau ada pula yang masih menggunakan “rute” itu demi untuk membahagiakan keluarga, terutama orang tua. Membahagiakan orang tua dengan jalan yang tidak membahagiakan (baca: membohongi) istrinya. Terkadang ada pembelaan kasus, ketika perempuan sudah mengetahui kondisi orientasi seksual dan dia mau menerima keadaan suaminya. Dengan alasan yang sama, yaitu membahagiakan orang tua, sekaligus “siapa tau” suaminya bakal “sembuh” dengan pikat pesona perempuannya.

Yang benar saja bukan? Yang ada bukan menyembuhkan, malah si istri stress dan menjurus kearah yang tidak jelas. Entahlah. Kalau saya yang berada di posisi perempuan itu, saya lebih baik “mundur” dan memilih pasangan yang memang diciptakan untuk menjadi pasangan saya. bukan pasangan yang dipaksakan menjadi pasangan saya.

Ada kalanya yang menjadi masalah, ketika lajang tersebut sudah berdamai dengan dirinya, namun orang-orang yang dikampung belum tentu. Dan memang kenyataannya sering seperti itu. Hal ini lah yang menjadi momok mengerikan bagi para lajang untuk jengah pulang kampung.

Walau terkadang juga, ada sebagian lajang yang mempunyai keluarga dan tetangga kampung yang “tidak peduli” dengan orientasi dan jender. Berbahagialah dia.

Lajang LGBT dengan status brondong mungkin masih bisa terselamatkan bila ingin menggunakan alibi “belum mapan” sebagai tangkisan pertanyaan kapan kawin. Namun apa kabarnya lajang LGBT yang sudah TUBANG (tua bangka). Dan belum ada kondisi coming out yang nyata di keluarganya. Mudik baginya bisa dipastikan seperti kegiatan yang menyiksa diri. Yang sudah seharusnya punya anak 4 kenapa sampai sekarang belum kawin-kawin.

Padahal seharusnya tidak perlu ada keharusan-keharusan yang membuat seseorang itu tidak nyaman. Apalagi hanya untuk memenuhi tuntutan sosial. Konstruksi masyarakat lah yang membuat seseorang lajang point 1-3 akhirnya menjadikan perayaan Lebaran tak ubahnya #Modus Siksa Neraka #kode

Kawin-tidak kawin seharusnya bukan lagi milik umum. Itu menjadi pilihan personal. Mau kawin atau tidak, disini pribadi masing-masing yang punya hak untuk menentukan. Andil seorang keluarga dan kerabat adalah mendukung agar kebahagiaan itu tidak muncul dipaksakan, tapi muncul karena dari dukungan itu sendiri.

Mengenai pasal-pasal agama, Tuhan sudah mempunyai rencana sendiri. Hanya mereka-mereka yang memutuskan untuk kawin dan tidak kawin lah yang berurusan dengan Tuhannya. Kita hanya bisa mendoakan, semoga yang terbaik (yang dipilihnya) adalah yang terbaik bagi kita juga.

Mulai sekarang, stop katakan “KAPAN KAWIN?”

Film ::: Pacific Rim (2013)

•July 14, 2013 • Leave a Comment

Gila!!!!

Kali ini dahaga gue terpuaskan setelah sekian beberapa tahun menggemari bioskop 3D. Betapa tidak, posisi film dengan predikat 3D yang paling keren versi gue, AVATAR (2009) akhirnya ada yang sedikit mencolek. Yup, Pacific Rim berhasil membuat gue tersenyum puas banget.

245941id1b_PacRim_1sided_120x180_2p_400.inddAwal kali beredar informasi bahwa Guilermo Del Toro bakal menghandle project film ini, gue sempat mikir, sebenarnya ini film apaan? Walo sekilas udah kebayang, bahwa film ini bakal larinya ke Tribute to KAIJU (monster raksasa yang biasa kebagian peran menjadi makhluk antagonis di budaya fim-film jepang). Sebelas dua belas dengan film Ultraman, namun kali ini bukan kekuatan super maha dahsyat yang dimiliki tokoh sentralnya, melainkan kemampuannya untuk berbagi “otak” dengan sesama partner pawang “Jaeger”.

Apa itu Jaeger?

Dulu… Pas gue masih sering ingusan dulu, sempat ada imajinasi mini dimana kita sebagai anak-anak adalah seonggok robot yang harus berperang melawan musuh. Terlepas sebenarnya dulu semuanya gak ada yang mau menjadi musuh, maunya semua menjadi lakon utama. Seakan-akan berada di lambung robot, dan mengendalikan robot dengan penuh semangat. Indahnya khayalan masa kecil. #plak sadar hoey!!!

01Tak beda dengan imajinasi masa kecil, Jaeger dikendalikan oleh dua orang awak robot yang berada di posisi “kepala” robot. Dengan pengoperasian kinerja robot yang menghubungkan sistem syaraf memori dari gabungan kedua awak yang dikombinasi untuk diteruskan ke sistem memori Jaeger tersebut. Sehingga cukup dengan menggerakkan anggota badan, sudah bisa menggerakkan anggota badan Jaeger. Let’s fight!!

Well intinya, Pacific Rim tidak ada hubungannya dengan kasus bermasalahnya (RIM) Blackberry tempo hari. Ini semua murni ketidak sengajaan.

Ketika dunia sudah dalam keadaan genting, karena Kaiju muncul dari dasar laut, halauan demi halauan untuk menyerang Kaiju tidak kunjung selesai. Hingga pada akhirnya diputuskan sebuah cara jitu yaitu dengan memutus “jembatan” yang menghubungkan dunia Kaiju dengan dunia “atas”.

08Dan finally, model film kayak gini yang emang gue tunggu. Tak perlu mencermati dengan segala macam detail-detail. Walau sebenarnya film ini sendiri menampilkan “detail” yang begitu nyata. Salut untuk tim film ini. Betapa imajinasi “creatures” ala Guilermo ini begitu fantastis. Kesalutan ini timbul semenjak dia menyutradari film Hellboy (2004), kemudian menyusul Pan’s Labyrinth (2006). Makhluk-makhluk unhuman-nya benar-benar eksotik. Bikin ngiri!

Balik lagi ke Rim(ming)….

Jajaran pemainnya sebagian gue ngeh, sebagian gue wow. Pertama, Idris Elba (Prometheus, Thor), Rinko Kikuchi (Norwegian Wood, Babel) dan ada si anak kesayangan Del Toro, Ron Pearlman (Hellboy). Dan yang bikin gue wow adalah pemeran Raleigh Becket, Yaitu Charlie Hunnam.

07Zaap…zaaaap…zaaaaaap….. Memory gue langsung terhubung ke masa lalu dengan Charlie…Tahun 1999-2000 ada sebuah serial tv-inggris yang menayangkan drama queer(LGBT-Lesbian Gay Biseks Transjender) berjudul QUEER AS FOLK. Dan benar sekali, Charlie Hunnam menjadi tokoh sentral gay di film tersebut. Dan yang lebih mengejutkan, Bentuk badannya tidak seperti yang sekarang. Jauh dari bayangan. Penting gak penting sih, yang jelas dia bakal nge-hieetzz.

Nama besar Guilermo Del Toro dipertaruhkan. Dan hasilnya…#awesome. Sejatinya Guilermo sudah membawa gue ke masa-masa dimana gue bergumul ria dengan monster, Robot Raksasa, Perang kepahlawanan, Hingga perang kosmik (yang dulu biasa disebut tembakan laser).

17Melihat Akting Idris Elba, mengingatkan gue pada sosok Laurence Fishburne sebagai Morpheus Dalam Trilogi The Matrix. Dan yes, Pacific Rim tak ubahnya versi popcorn dari film The Matrix yang bisa disaksikan tanpa perlu berbagi otak untuk bisa mencerna filosofi yang ada dalam film ini (baca: Pacific Rim).

11

10

12

03

18

4/5 stars

Foto diambil dari berbagai sumber.http://www.pacificrimmovie.net/gallery/

Setia Budi-20130714-03595

Suminah

•July 12, 2013 • Leave a Comment

Suminah

“Masih mending nge-lonte dari pada hanya sekedar “sedekah nafsu”….!”

( Nukilan cerpen – Sekuntum Ampas Kopi )

Film ::: Facing Mirrors (Aynehaye Rooberoo) (2011)

•July 3, 2013 • 2 Comments


04
Menjadi diri sendiri. Siapa sih di dunia ini yang gak kepingin menjadi diri sendiri. semua orang pasti ingin menjadi dirinya sendiri. Gak ada pemaksaan, gak ada pengekangan dan gak ada cuci otak. Hak untuk mendapatkan kemerdekaan atas asasi sebagai manusia seutuhnya. Sejatinya muncul dari diri sendiri.

Bukan nyinyir, tapi agak menyindir, Di Indonesia, penegakan HAM (Hak Asasi Manusia) masih gak konsisten. Bisa dilihat sendiri, kejadian apa-apa aja yang bikin bulu kudung kita berdiri (bagi yang melek HAM sih bakal kesentil, tapi yang masih meraba-raba kayaknya kudu belajar). Disini gue gak mau membahas pernikahan sejenis (tapi bukan berarti gue gak respek), secara sekarang lagi musim orang-orang membicarakan hal itu.

Penting gak penting, Gue lebih interest dengan penerimaan diri, persamaan HAK dan kesetaraan jender ketimbang ngurusin legalitas pernikahan sejenis. Bagi gue, pendiskriminasian atas LGBT (Lesbian Gay Biseks Transjender/Seksual) aja masih nge-hits, gimana dengan pernikahan sejenis?! Jadi come on, fokus dulu ke hal-hal yang kecil. SAME SEX MARRIAGE untuk sementara dihidden dulu yaaa…. too hard too discuss… bukan Ievel gue…xixixixixii…

Perjuangan seseorang yang ingin medapatkan hak-nya sebagai manusia seutuhnya bisa terlihat gamblang di sebuah film Karya Negar Azarbayjani ini. Judulnya Facing Mirrors. Tapi entahlah, korelasi antara judul film dengan ceritanya, gue masih belum nemu, btw itu gak penting, yang jelas gue suka banget film ini…

03Berkisah tentang seorang transjender FTM (Female to Male) yang bernama Eddie/Adineh Tolooyi (Shayesteh Irani) yang berhasrat untuk bersegera mungkin melakukan penyesuaian kelamin (operasi) ke Negara Jerman. Perlu diketahui, di negara asal Eddie, Iran, yang notabene masih menjunjung tinggi kultur budaya dan agama sehingga dipastikan pihak keluarga pasti bakal menentangnya. Apalagi orang tua.

Di kisah yang lain, Rana (Qazal Shakeri) seorang Ibu muda beranak satu yang terpaksa menjadi supir taksi menggantikan suaminya yang dipenjara. Hal itu dilakukannya untuk bisa tetap menghidupi keluarganya. Beruntung, peraturan pemerintah mengizinkan seorang perempuan untuk berprofesi sebagai sopir taksi. Untuk alasan keamanan, hanya melayani penumpang perempuan.

10Hingga pada suatu kejadian, Eddie dan Rana dipertemukan. Eddie terlibat dalam masalah yang cukup komplik dengan ayahnya, Mr. Tolooyi (Homayoun Ershadi). Dimana sang ayah sudah tidak bisa mentolerir lagi sikap Eddie yang telah  melakukan “pemberontakan” berkali-kali.

Dan akhirnya, Eddie merencanakan pelarian sambil membawa “bekal” untuk kebutuhan selama diperjalanannya. di perjalanannya, Eddie “diselamatkan” oleh Rana. saat dia terlibat masalah dengan seseorang dijalan. Memang, sikap Eddie yang urakan sering kali menimbulkan masalah.

Ternyata, dari awal, Rana sudah mengetahui, bahwa Eddie adalah seorang perempuan yang kebetulan berpenampilan maskulin. Merasa diuntungkan, Eddie memanfaatkan Rana untuk mengantarkannya ke luar kota. Tentunya dengan iming-iming uang yang lumayan banyak. Awalnya Rana kebingungan dan “menolak”, namun karena keadaan ekonominya yang menyedihkan, akhirnya Rana menyepakati perjanjian itu.

12Segepok uang kertas diterima Rana dan dia akhirnya melanjutkan perjalanannya. Padahal, Rana sendiri masih pikir-pikir mengingat dia adalah perempuan, yang tidak bisa bekerja ke lewat jam malam. Namun apa mau dikata, bila uang sudah berbicara.

Selama dalam perjalanan, timbul interaksi diantara keduanya. Hingga sampai pada waktunya, Rana mengetahui niat Eddie yang sesungguhnya. Keterkejutan Rana membuat dia shock sehingga mengalami kecelakaan.

08Dan cerita bergulir dengan intents. Sungguh sebuah drama yang cukup menguras air mata. Dua insan dengan latar belakang yang berbeda sama-sama berjuang untuk mencari arti hidup yang sesungguhnya. Eddie yang terlahir dari lingkungan keluarga yang berada dihadapkan pada kondisi, dimana dirinya merasa yakin terlahir laki-laki, namun sang ayah menolak keras sikap anak bungsunya tersebut.

Sementara Rana sendiri, yang hidup tidak lebih dari cukup, hanya bisa mampu bertahan menghidupi keluarganya dengan menggantikan posisi suaminya sebagai Sopir taksi.

Film yang sama sekali tidak menampilkan simbol seks(sensualitas tubuh) ini berhasil mengangkat isu Transjender (FTM) ke permukaan. Dengan drama yang memang khas film-film Iran, menjadikan film ini berjalan lambat namun konsisten dalam segi penceritaan.

07Dialog-dialog yang muncul dari bibir Rana sangat-sangat menohok. Ketika “kebaikan” itu datang bukan dari keluarga kita sendiri, tetapi dari orang lain, sebut saja teman, terkadang ada rasa yang muncul dan menitahkan hasrat kita untuk sangat berterima kasih kepada orang/teman kita tersebut. Karena keberadaan dia-lah kita menjadi “ada”.

Dukungan memang kadang selalu datang dari orang-orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Karena memang dukungan itu muncul dari orang-orang yang mau mendengarkan curahan isi hati kita, tentang siapa kita, apa maunya kita. Sekalipun itu Ayah/Ibu/saudara/teman/dan siapapun, kalo tidak mau mendengarkan, ya percuma aja.

Satu pelajaran yang bisa diambil dari sikap Rana di film ini adalah, berteman dengan seorang LGBT tidak serta merta akan menjadikanmu seorang LGBT juga. Mungkin secara perilaku/ekspresi jender bisa terbawa, tetapi secara prilaku seksual, hal itu sangat disangsikan. Karena LGBT bukan penyakit.

Awalnya Rana memang termasuk perempuan yang tidak begitu mengerti apa itu jender dan seksualitas. Ada salah satu scene dimana Rana ketakutan setelah mengetahui bahwa Eddie adalah Laki-laki. Ketakutan akan “dilecehkan”. Namun Eddie hanya menganggapinya dengan santai, selama belum menjalankan operasi penyesuaian kelamin, hal yang dibayangkan oleh Rana tidak bakal terjadi. Dan itu yang membuat Rana sedikit bisa bernafas lega.

Nima Shahrokh Shahi as Emad

Nima Shahrokh Shahi as Emad

Di film ini juga digambarkan betapa kediktatoran seorang Ayah yang tidak tergoyahkan sedikitpun kearogansiannya dalam memperlakukan Eddie. Bahkan sang Kakak Eddie pun, Emad (Nima Shahrokh Shahi) hatinya luluh saat mendengar “curahan hati” Rana atas penilaiannya terhadap Eddie. Walau sebelumnya pun Emad dari dulu memang sayang kepada adiknya.

Menonton film ini, seperti menjalani sebuah terapi kejiwaan. Betapa hal-hal yang berkaitan dengan pertentangan itu selalu bisa datang dari mana aja.

01Kalo sudah membicarakan masalah “aib” biasanya, orang tua yang lebih dahulu unjuk gigi dan merasa paling benar dalam menentukan “kebahagiaan” anak/anak-anaknya. Alhasil, sang buah hati harus menurut demi tujuan “kebahagiaan” itu. Intinya, orang yang tidak peka akan cinta dan kasih sayang jadinya ya kayak ayahnya Eddie, “Masalahnya, gue sebel ajah saat ngeliat ayah Eddie, udah tubang (tua bangka), sukanya maen kekerasan!!!”

Untuk akting, gak usah diragukan lagi. Benar-benar jempolan. Terlebih Shayesteh Irani, yang bener-bener bisa membawakan peran dengan baik seorang transjender FTM yang berkeinginan menjadi transseksual FTM.

Lebih lagi Qazal Shakeri, aktingnya sungguh meyakinkan. Sebagai Ibu yang dirundung masalah bertubi-tubi. Tegar sosoknya namun terkadang masih nampak sebagai sosok yang rapuh. Justru disitulah letak kekuatan performa Qazal. Tidak melupakan juga para pemeran pendukung yang lainnya juga.

Terakhir, gue hanya berpesan satu hal. Sediakan tisu.

09

4.1 / 5 Bintang

Screening film yang digeber oleh Q!Munity (Erasmus Huis – 30 Juni 2013/6pm)

Foto dari berbagai sumber internet.

Cerpen ::: SATE

•June 26, 2013 • 4 Comments

Usia lima belas, aku sudah dikenalkan dengan ketuban. Umur dua belas hari, aku nyaris dijual-belikan. Usia empat belas, dikawinkan dengan aparat kelurahan jadi istri ke enam. Ada satu bulan, langsung menjadi janda kembang. Suamiku mati jantungan. Tidak ada warisan. Para janda tawuran. Aku kembali pulang. Kula cek sennengnga, otang ebuh sampon lonas[1].

Usia lima belas, aku dipaksa kenalan dengan sperma Idrus. Tetangga sebelah yang mengaku masih ada kerabatan. Bilangnya demi kebaikan, aku digerayang habis-habisan. Aku menangis, dia beringas. Aku menepis, dia membuas. Aku berontak, dia kehilangan otak. Aku pasrah, dia leluasa menggoyang raga. Aku mati, “tidak,” Sengkok tak olle mateh[2].

Usia sembilan, darah membasahi rok seragam kerja di pasar. Sakit rasanya. Aku tanyakan Ibuk, katanya aku sudah pantas mengumpulkan harta. Dan siap nikah. Pilih mana. Aku memilih kerja. Adikku laki-laki semua. Kecil-kecil ada tiga. Akan diberi makan apa mereka, kalau aku dibawa serta calon suamiku pergi dari rumah.Ibuk pasti jadi gila. Hanya aku, anaknya yang bisa dijual. Kakak-kakakku sudah tidak ada riwayatnya. Semuanya sudah menghilang entah kemana.

Ibuk tidak mau lagi mengulang kebodohan yang sama. Walau tetap saja dia sempat mengawinkan aku dengan Pak Lurah. Kali ini bukan kebodohan, hanya sedikit keterpaksaan.

Demmi lek-alek en kabbih![3] rayu Ibuk kepadaku.

Tetap saja itu tidak bertahan lama. Hanya sebulan. Untung atau rugi, aku belum sempat ditiduri. Pak Lurah terlalu sibuk mengurusi istri-istri, yang kemudian mati berdiri lantaran jantungnya tidak kuat melihat tubuhku yang masih asli. Aku senang.

***

Mereka biasa memanggilku Nena. Tak pernah sepotong. Selalu utuh. Nena. Tak pernah Nen, tak juga Na. selalu Nena. Tidak ada alasan mengapa Ibuk memberi nama Nena. Hanya Nena. Tidak ada nama awal dan nama akhir. Cuma Nena. Sempat aku bertanya, kenapa hanya Nena, kenapa tidak seperti Aliyah, yang nama lengkapnya, Aliyah Putri Kalimasadah. Atau nama Rotun, yang lengkapnya Masrotun Hamidah. Kenapa aku hanya Nena.

Sopaja gampang[4],” jawab Ibuk singkat.

***

Dari usia tiga tahun, sudah ikut Ibuk mengambil air di sumur desa sebelah yang jauhnya 4 kilometer dari rumah, hanya dengan berjalan kaki. Ibuk selalu membungkus tubuhku dengan kain bertumpuk-tumpuk. Selain melindungi dari panasnya matahari, Ibuk selalu mengancam, “Sengak jak.sampek ebukkak totop cetakkah![5]

Aku heran. Sampai rambutku memanjang sepinggang, tak pernah aku mendapat jawaban. Cerewetnya aku pada akhirnya membuntu teka-teki Ibuk yang berkecambuk. Sebuah alasan yang terlalu sederhana. “Mon kolekna ba’na sampek gosong, bisa jubah arebban!”[6] Ibuk menahan kesal.

Setelah itu aku berhenti bertanya kepadanya. Malah aku berganti tanya kepada diriku sendiri, “Apa roa massa se bakal deteng?”[7]

***

Pamanku girang ketika melihat aku menangis kesakitan mengeluarkan janin dalam kandungan. Tak perlu ada anak setan yang harus hidup dan tumbuh dibesarkan. Paman membicarakan Idrus. Paman juga yang dulu hampir sepersekian menit membunuh Idrus. Polisi datang, bajingan itu diamankan. Paman berang. Sumpah serapahnya direkam saudaranya dan diinternetkan. Sempat menjadi tontonan berbulan-bulan.

Kalau ditanyakan kabar bagaimana aku saat itu. Aku “mati.” Serasa mati. Dan baru kali itu aku menyadari betapa rasanya mati itu tidak menyenangkan. Dadaku sakit. Keras sekali. Tidak ada yang bisa menyembuhkan. Tidak ada yang bisa menghilangkan. Aku terenyuh menyedihkan. Kosong. Aku bahkan lupa, saat itu aku sedang memikirkan apa. Ibuk hanya bisa histeris, sambil meracau dia berseloroh, “Dak remmah arebban tang anak daggi’an?”[8] Kosongku mendadak terisi. Aku merinding tentang sebuah masa depan.

***

Ternyata masa depan adalah satu-satunya nyawa dan harapan aku melanjutkan proses kehidupan. Aku harus melangkah ke depan. Walau saat itu ada banyak pertentangan. Hamil atau digugurkan. Aku membiarkan. Namun selama itu juga aku hanya bisa uring-uringan. Tidak gampang membesarkan benih kebencian di dalam lahir yang tak pernah sekalipun berhasrat memberi tumpangan jiwa baru. Bukan itu yang aku mau. Rahimku rahimku. Ada keakuanku yang sangat kuat di situ. Ibuk memelukku. Menenangkan. Mendamaikan. “Molae sateya, ba’na kodu nantoagi massa arebban![9]” bisik Ibuk penuh kasih.

Kami bukan orang kaya. Yang bisa dengan gampangnya mengeluarkan uang berjuta-juta untuk mengakhiri penderitaan demi sebuah harga diri. Kami hanya orang kurang beruntung yang tidak beruntung. Yang selalu belajar untuk tahu diri dalam mengartikan sebuah harga diri.

tumblr_m6a3sf1bk21qjqndqo1_500Ibuk tidak membawaku ke bidan abu-abu. Dia hanya memberikan sebuah makanan yang tidak asing bagiku. Sate. Hanya saja sate yang aku telan bukan dari daging sapi, kambing atau ayam. Aku mengunyah daging sate dari jenis hewan yang sangat menjijikkan. Ibuk bilang, sangat bagus untuk menggugurkan kandungan. Dia juga mengingatkan, “Ja’ sampe’ bada se tao.sate apah se e kakan!”[10]

Dua hari sekali aku mengkonsumsi. Imbas dari apa yang aku makan memang sedikit terbukti. Badan kadang merasa hangat kadang dirasa panas. “Paste hewan alata,”[11] aku mencoba mengira-ngira. Ibuk tahu, kalau hanya sekedar digoreng, pasti aku tidak bakal mau. Ibuk memang sangat tahu aku, Sate, itu kesukaanku.

Ibuk kerap tegang dengan Bu Kaji Halimah. Siraman rohani disana sini perihal kandungan yang aku emban selalu dipermasalahkan. Ada kalanya dosa itu milik orang-orang yang tidak mau mengindahkan ajakan untuk tetap di jalan yang lurus.

Saat Idrus berbuat bejat, aku disalahkan karena ada yang mengundang di bagian aurat. Saat terbukti di perutku ada isi, aku disalahkan karena hamil di luar ritual pernikahan. Dan saat berniat menggugurkan kandungan, aku semakin disalahkan karena melakukan praktek pembunuhan yang sangat tidak manusiawi. Semuanya salah. Kapan benar, aku tidak pernah minta. Yang jelas, aku semakin beringas menyantap sate ramuan Ibuk tercinta. Panas aku dibuatnya. Marah sejadi-jadinya. Kepada siapa? Sesuatu yang berada di dalam perutku? Ya siaya.[12]

***

Rahasia itu terbongkar. Prediksi daging kadal atau ular itu salah. Tokek. Bahan utama sate yang selama ini aku konsumsi. Aku sempat bergidik. Namun itu tidak lama. Sudah terlanjur niat dengan hasrat untuk menyudahi masa-masa kiamat. Bagiku. Kalau perlu, anak tikus yang masih berumur sehari aku telan hidup-hidup, kalau itu memang benar-benar bisa menyelesaikan masalah. Kata Ibuk, “Daddih reng binik tak.olle lemah, mon bisa kodu lebbih teggih dari sapa.bai.”[13]

“Tak osa ngedingagi ocakna reng laen,”[14] Ibuk menambahkan.

Aku diam. Dalam hati aku berusaha kuat. Seperti yang Ibuk barusan bilang. Lantas aku senang. Lahap aku mengunyah sate. Berharap agar semuanya bisa selesai.

***

Potongan-potongan masa lalu memang sering mampir menjadi kenangan selingan di kala merindu. Bagaimana kabarnya Ibuk, adik-adikku dan juga pamanku. Hampir setahun aku berpisah dengan mereka. Ibuk punya rencana. Terkait masa depan yang pernah kami berdua bicarakan.

Kini aku sudah berada di lain kota. Lain pulau lebih tepatnya. Jarak telah memisahkan kami. “Ka angguy kabeccek an sakabbi na[15],” Ibuk menenangkan.

Bibbik[16], Marlena, bukan dewi fortuna. Dia membawaku pergi dari derita, memindahkan pilu ke tanah harapan baru. Ibuk berharap sangat kepadanya. Sementara aku, hanya bisa mengaca. Apa aku bisa melewatinya?

Ka angguy arebban[17],” Ibuk kembali menegaskan.

Bada bannyak kasembadan e loar dissa. Ba’na kodu nyobak![18]” Marlena menimpali.

Enggih, kulah asadiya[19],” aku mengangguk.

Hanya dialog-dialog itu yang masih bisa aku ingat. Lainnya lupa. Terkikis oleh masalah baru.

***

Aku boleh berbahagia. Di tempatku yang baru aku bisa tertawa-terbahak. Berbagi cerita dengan Zula, Sri, Datul, Maryam dan Suroya. Teman-teman seperjuangan. Kami datang dari satu kecamatan yang sama namun beda kampung halaman. Kami seumuran dengan nasib yang sama. Sama-sama mencari peruntungan di negeri antah berantah. Susah senang kami jalani bersama. Itu hanya awalnya, selanjutnya, perang Bharatayudha.

***

Dibawah juragan yang sama, kami bekerja sebagai penjaja sate keliling. Para lelaki menjualnya dengan gerobak bersepeda, sementara kami para perempuan hanya dengan menaruh dagangan di atas kepala. Seperti umumnya perempuan Bali yang hendak pergi bersembahyang dengan sesajen bawaan di atas kepala. Dan sayangnya, kami semua sudah mahir melakukannya, tanpa bantuan tangan, sudah bisa seimbang. “Namuri na reng binik[20],” kata Maryam.

***

 Aku menjajakan sate menyusuri kampung demi kampung. “Tee satee!!!” teriakku lantang. Membangunkan orang-orang yang sedang asyik tidur siang. Menghirup aroma arang yang membakar daging ayam. Sengaja suara teriakan aku nyaringkan. Berisik pastinya!

Ibu-ibu muda dengan membawa piring plastik keluar dari balik pintu rumahnya. Masih memakai daster kembang-kembang sambil menggendong anaknya yang sedang demam. Dipesannya sate ayam. Tidak pedas, kecapnya yang banyak. Selembar uang lima ribuan aku terima dari tangannya yang masih ada sisa bau minyak kayu putih.

“Alhamdulillah, mbak ayu sing tuku…!”

“Iyo, awak panas iki lho… cerewet ae ket isuk!”

Dan obrolan basa basi pun mengiringi kibasan kipas sate bututku. Saking semangatnya, beberapa kali percikan bara arang lompat kecil-kecil dari tatakannya. Si anak senang melihatnya. Tak jauh beda dengan kembang api rupanya.

***

Setoran hari ini tidak banyak. Sama seperti biasanya. Bagiku, tidak ada istilah kejar setoran. Setiap hari selalu sama. Rutinitas yang kulakukan tidak pernah berubah. Hanya usiaku yang sedikit demi sedikit bertambah. Sudah bukan lagi belasan. Dadaku juga sudah bukan lagi sumpelan. Banyak yang iri dengan apa yang aku miliki. Banyak yang bilang aku terlalu sempurna untuk menjadi seorang penjual sate keliling.

***

Slamet, anak sang juragan sering mampir ke kontrakan. Membawakan makanan kadang camilan yang tidak sedikit. Harapannya, aku menjadi maunya. Mau untuk dicumbu, mau untuk dimadu.

Tapi sayangnya aku tidak sebodoh itu. Aku benci dengan makanan yang sering kali dia bawakan. Martabak telor spesial. Selalu itu. Terakhir kali dari yang ke sekian kali, Aku melempar martabak ke teman-teman, mendadak besok-besoknya mereka langsung membicarakan Slamet. Slamet yang tampan, slamet yang baik hati, slamet yang ini dan slamet yang itu. Jampi-jampi itu untungnya tidak berlaku kepadaku. Aku selamat!

***

Di hari-hari berikutnya, Slamet muram. Kesalnya sangat begitu kelihatan. Matanya penuh ancaman. Dia tahu betul, Oleh-oleh makanannya tak pernah aku telan. Karena aku sampai hari itu tidak jatuh dalam pelukan. Slamet wanti-wanti, aku disuruh hati-hati.

Aku masih simpan SMS-nya, mungkin suatu saat bisa berguna.

***

Sudah tidak ada lagi masa depan? Salah besar! Masa depan sebentar lagi akan kujelang. Mungkin sekarang aku sedang berada di balik jeruji tahanan. Terkesan tidak bisa berbuat apa-apa. Jangan salah?! Aku sudah berencana dengan apa yang sudah aku rencanakan.

Mengakhiri urusan yang belum selesai, antara aku dengan Slamet. 3 tahun adalah masa penantian yang cukup lama untuk mengendapkan emosi jiwa yang pernah terluka. Di dalam penjara aku merajut dendam. Perlahan demi perlahan aku mencoba kuat. Melupakan kejadian yang sempat menyeretku pada tuntutan hukuman 5 tahun penjara. Susah. Ujung-ujungnya, aku semakin gila. Kalau tahu dulu jadinya seperti ini, lebih baik kubinasakan saja itu anak manusia. Tidak perlu aku menghujam penisnya dengan 5 batang bekas tusuk sate sisa makan malam. Sia-sia.

***

Banyak mata manusia yang sepaham dengan Slamet. Aku dibilang sundal. Diberitakan bejat. Dikabarkan Tak bermoral. Aku menggagahi Slamet. Menggerayangi Slamet. Merusak iman Slamet. Aku Laknat.

Tidak ada sanggahan, “Mao dak remmah pole?[21]” Yang jelas, aku hanya melawan. Titik. Tidak diam. Aku memang menggagahi Slamet, Menggerayanginya. Tapi, aku menggunakan kekuatanku untuk meluluhkan Slamet. Melumpuhkannya. Itu satu-satunya cara yang terlintas dibenakku. Polana Slamet rowa setan![22]

Terhitung dari sekarang, dua hari lagi aku bebas. Slamet tidak bakal selamat. Ini semua bukan balas dendam. Aku hanya membenarkan tentang apa yang dulu tidak pernah benar bagiku. Slamet aku wanti-wanti. Sengkok nyoro sopaja te ngate![23]

***

Jakarta, 24 April – 24 Juni 2013


[1] Dan Aku senang. Hutang Ibu sudah lunas

[2] Aku tidak boleh mati

[3] Demi adik-adikmu semua

[4] Supaya mudah

[5] Awas kalau penutup kepala itu kamu lepas!

[6] Kalau kulit kamu gosong, masa depan kamu bakal gosong juga

[7] Apa itu masa depan?

[8] Bagaimana masa depan anakku ini nantinya?

[9] Mulai sekarang, kamu harus bisa menentukan masa depanmu!

[10] Jangan sampai ada yang tahu, sate apa yang kamu makan!

[11] Pasti hewan melata

[12] Sia-sia

[13] Jadi perempuan itu tidak boleh lemah, kalau perlu harus bisa lebih tinggi dari siapapun

[14] Tidak perlu mendengarkan omongan orang!

[15] Demi kebaikan kita bersama

[16] Bibi, adik ibu

[17] Demi masa depan

[18] Ada banyak kesempatan di luar sana, kamu harus mencobanya!

[19] Baiklah, Aku bersedia

[20] Naluri perempuan

[21] Mau bagaimana lagi

[22] Karena Slamet itu setan!

[23] Aku suruh dia untuk hati-hati

 

Terima kasih untuk Om Imam Sucipto atas bantuan translate bahasa Madura , Sampang version. 🙂

Ilustrasi gambar http://www.tumblr.com/tagged/sate